MENGGALI KEMBALI NILAI-NILAI BUDAYA MADURA MELALUI NYANYIAN TRADISIONAL: GHAI’ BINTANG Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional
MENGGALI
KEMBALI NILAI-NILAI BUDAYA MADURA MELALUI
NYANYIAN TRADISIONAL: GHAI’ BINTANG
NYANYIAN TRADISIONAL: GHAI’ BINTANG
Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Nasional
“Merawat
Madura Melalui Modal Budaya”
Diselenggarakan
oleh Youth Of Cliquers Book
Bekerja
sama dengan Pemerintah Kabupaten Pamekasan
Pamekasan,
06 November 2016
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Latief Wiyata
Antroplog
Budaya Madura
Pendahuluan
Banyak sumber untuk
menggali nilai-nilai budaya Madura, di antaranya melalui nyanyian tradisonal
yang mungkin sekali pada saat ini sudah mulai tidak diingat kembali dan bahkan
tidak mau (dan mampu) menyanyikannya, khususnya oleh generasi muda. Mereka
lebih mengenal bahkan hafal menyanyikan lagu-lagu pop, termasuk “K-Pop” yang
kini sedang melanda dunia mereka. Kondisi ini memang tidak dapat dihindari atau
dielakkan, berkat kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat dan sangat
canggih.
Keampuhan teknologi
informasi menjadikan “dunia remaja” makin sempit dan tidak tergantung lagi pada
persoalan ruang dan waktu sehingga selera mereka mudah ditentukan atau dibentuk
oleh selera “dunia sana”. Hal inilah yang kemudian mampu memengauhi selera
mereka terhadap nyanyian tradisional
memudar. Padahal irama nyanyian
tradisonal sangat enak didengar dan penuh dengan suasana keceriaan. Liriknya
pun tidak “abal-abal”, melainkan sarat dengan makna-makna filosofis khas budaya
Madura. Salah satu nyanyian tradisional itu adalah “Ghai’ Bintang”.
Syair selengkapnya adalah sbb:
Ghâi’ bintang ya lè’ ghâgghâr bulan
Paghâi’na jhanor konèng
Kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu
Pajhâuna è lon-alon
Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer
Terjemahan bebasnya:
Menggapai atau meraih bintang
ternyata yang jatuh rembulan
Alat penggapainya janur
kuning
Kakak pergi semakin jauh
Jauhnya ke alun-alun
(Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer)
Sampai saat menulis
makalah ini, saya masih belum mendapatkan informasi tentang siapa pengarang
nyanyian itu. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri nyanyian ini sangat
popular di zaman saya masih ana-anak dahulu, sekitar pertengahan tahun 1950-an.
Saya yakin pada zaman sebelum saya pun nyanyian ini juga sangat akrab dalam
pergaulan sosial orang Madura. Biasanya nyanyian ini dikumandangkan pada saat
bermain-main di halaman rumah (Madura: pamengkang)
secara bersama-sama dengan ana-anak tetangga. Suasana keceriaan senantiasa
mewarnai pergaulan mereka. Meskipun sangat mungkin mereka tidak memahami makna
filosofis yang terkandung di dalamnya, namun nyanyian ini mampu memberikan
semangat kebersamaan yang mengasyikkan.
Makna-makna simbolik
Sekilas makna simbolik
nyanyian Ghai’ Bintang dapat
diinterpretasikan sebagai nyayian kasmaran. Makna yang dikandungnya sangat
jelas menggambarkan bagaimana seseorang yang sedang dilanda asmara kehilangan
kekasihnya oleh karena sudah pergi jauh meninggalkannya. Padahal sebelumnya pasangan
kekasih ini sudah berupaya agar bisa bersanding di pelaminan. Kejadian ini pasti merupakan suatu kondisi
emosional yang sangat menyakitkan bagi yang bersangkutan. Namun, kondisi
emosional ini tetap dihadapi dengan tabah dan tidak harus patah semnagat bahkan justru dihadapi dengan keceriaan
(tanpa merasa sedih yang berlebihan).
Selain bermakna suasana
hati seseorang yang kehilangan kekasihnya, nyanyian Ghai’ Bintang dapat pula dimaknai dalam konteks budaya Madura yang
lebih dalam. Apabila dicermati dengan seksama, bait-bait dalam nyanyian Ghai’ Bintang mengandung berbagai
pilihan kata yang membentuk suatu kontkes makna simbolis. Pilihan kata-kata itu
adalah: ghai’, bintang, bulan, jhanor konèng, elang, sajân jhâu, dan lon-alon (kemudian diakhiri dengan bait liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Pilihan
kata-kata ini sudah barang tentu bukanlah sederetan kata tanpa makna melainkan
memiliki makna-makna simbolis yang harus diinterpretasikan sesuai dengan
konteks nilai-nilai kultural Madura.
Kata ghai’ (menggapai atau meraih) bermakna
suatu tindakan atau upaya dan kerja keras untuk meraih sesuatu yang
dicita-citakan atau diinginkan. Dengan menggunakan kosa kata ini, yang harus
diraih itu merupakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya, bukan sekadar
keinginan atau cita-cita yang ala kadarnya. Inti dari makna simbolik yang
terkandung dalam pilhan kata ghai’ adalah konsep bekerja keras dengan semangat
yang tinggi merupakan salah satu kewajiban cultural orang Madura. Lebih
tegasnya, bermalas-malasan tidak dikehendaki apa pun alasannya.
Kata bintang, bermakna atau simbolisasi dari
sesuatu yang sangat tinggi dan bersifat agung atau luhur. Dalam konteks ini,
kata bintang bisa saja bermakna
sebagai suatu cita-cita atau keinginan luhur. Tentu saja, tidaklah mungkin
suatu cita-cita atau keinginan luhur hanya diniatkan dan diucapkan, melainkan
harus disertai dengan upaya dan kerja keras untuk dapat meraihnya menjadi suatu
kenyataan. Itu sebabnya dalam nyanyian Ghai’
Bintang kemudian disebutkan alat
untuk meraih bintang itu disebut jhanor
koneng, yaitu daun kelapa yang masih muda yang memiliki tekstur warna
indah. Daun kelapa ini biasanya hanya digunakan untuk peristiwa-peristiwa
ritual yang sakral.
Selanjutnya, meskipun
cita-cita luhur tersebut telah diupayakan dengan kerja keras tanpa mengenal
lelah, namun harus disadari bahwa tidak tertutup kemungkinan ternyata hasilnya
bisa jadi tidak sesuai dengan yang diharapkan (ghâgghâr bulan). Pada bait-bait selanjutnya yaitu: kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è
lon-alon dapat semakin mempertegas interpretasi bahwa meskipun cita-cita
dan keinginan luhur itu semakin sulit untuk digapai atau diraih, namun
kesulitan ini sekali lagi tidak akan membuat orang Madura bersedih.
Sebab, tingkat kesulitan
itu akan dimaknai hanya bermuara pada suatu area yang menyenangkan. Kita semua
tahu, bahwa tempat yang bernama pada suatu tempat yang disebut alun-alun.
Tempat ini merupakan konsentrasi segala kegiatan yang bersifat ritualistic atau
“perayaan” sehingga suasana kemeriahan, keramaian, keceriaan, dan kegembiraan
akan ditemukan di sana. Bahkan tidak jarang alun-alun juga dijadikan tempat
untuk kegiatan-kegiatan olahraga yang maknanya akan membuat orang menjadi makin
sehat, bukan sebaliknya (sakit).
Dengan demikian segala
bentuk “ketidak berhasilan” tidak akan membuat orang Madura patah semangat.
Mereka tetap akan menerimanya dengan senang hati sebagimana disimbolisasikan
pada bait terakhir dalam lagu itu (liya
lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Meskipun bait ini belum saya temukan
terjemahannya, namun iramanya sangat jelas menggambarkan suatu suasana
kegembiraan dan keceriaan, bukan irama yang meratap-ratap akibat kesedihan.
Masih terkait dengan
bait-bait sebelumnya, makna lain dari bait-bait kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è lon-alon dapat pula
diinterpretasikan dalam konteks semangat merantau. Dengan semangat merantau
yang sangat tnggi, sehingga kemudian semangat ini menjadi semacam kewajiban
cultural orang Madura. Artinya, orang Madura sangat terbiasa dengan aktivitas
ini. Itu sebabnya, orang Madura tidak segan-segan untuk merantau ke
tempat-tempat yang letaknya jauh, dan bahkan sangat jauh, dari kampung halaman
demi meraih cita-cita dan keinginan luhur. Sekadar sebagai suatu pembandingan,
hal ini berbeda dengan orang dari budaya Jawa, misalnya, yang baru akan berani
merantau kalau seluruh lingkungan sosal budaya mereka diikut sertakan (konsep bedol deso dalam budaya orang Jawa
merupakan suatu solusi dalam keberhasilan program transmigrasi nasiona).
Secara empirik, semangat
merantau ini telah terbukti oleh banyaknya orang Madura tersebar di seluruh
pelosok kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke manca negara. Baik mereka sebagai
nelayan maupun sebagai pedagang, birokrat, ilmuwan, dan sebagainya. Meskipun
mereka harus menuju ke suatu tempat yang sangat jauh, namun tempat-tempat itu
hanya dimaknai sebagai “alun-alun”.
Dengan dilandasi
semangat yang tinggi, keuletan serta upaya yang sungguh-sungguh, hampir semua
perantau Madura berhasil baik secara sosial, ekonomi maupun politik (sesuai
dengan kapasitasnya). Bagi orang Madura, kegagalan merantau secara kultural
akan dimaknai sebagai suatu aib yang harus dihindari karena akan mendapat
cibiran yang menyakitkan dari lingkungan sosial. Hal ini tercermin dalam
ungkapan: arapa’a alako u-jhau mon
kabada’anna pada bhai (untuk apa pergi merantau sampai jauh jikalau kondisi
kehidupan masih tidak masih tetap saja
tidak menunjukkan keberhasilan).
Simpulan
Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam nyanyian Ghai’ Bintang adalah semangat pantang
menyerah orang Madura dalam meraih cita-cita atau keinginan luhur yang
mau-tidak mau harus dibarengi oleh upaya kerja keras meskipun dalam
kenyataannya kemudian upaya itu akhirnya belum membuahkan hasil sesuai dengan
yang diharapkan. Namun berkat kerja kerasnya ketidak berhasilan itu tidaklah
fatal, dalam artian capaian yang diperoleh tidak terlalu jauh perbedaannya
dengan cita-cita dan keinginan semual. Itu sebabnya, ketidak berhasilan itu
tetap disikapi dengan keceriaan.
Nilai-nilai kultral lain
yang dapat dipetik dari nyanyian ini adalah berkaitan dengan konsep merantau.
Bagi orang Madura merantau merupakan suatu hal yang sudah lazim dan bahkan
sebagai kewajiban kultural. Sejauh berapa pun jarak yang harus ditempuh dan
lokasi yang harus didatangi tidak akan menjadi penghalang. Semua itu akan
dimaknai sebagai layaknya pergi ke alun-alun, suatu tempat yang menjadi
konsentrasi berbagai kegiatan yang menyehatkan sekaligus menghibur. Itu sebabnya,
bagi orang Madura pergi merantau bukan merupakan sesuatu yang menakutkan
melainkan justru menyenangkan. Implikasi dari semangat itu ditunjukkan oleh
keuletan dalam bekerja, daya saing yang sangat kuat, serta motivasi yang tinggi
untuk meraih keberhasilan. Lebih kongkritnya, jarang sekali ditemukan atau
terdengar kegagalan orang Madura di tanah rantau!
Roko’ èskot talèna mèra, sala lopot nyo’ona
sapora
MATOR SAKALANGKONG
Komentar
Posting Komentar