MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAKMASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT
MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAKMASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK
KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT
ABSTRAK
Yosi
Trisa: Tradisi
Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak dalam Upacara Kematian Di Nagari Tandikek. Skripsi. Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Padang.
Tradisi
Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan satu rangkaian
upacara kematian yang dilaksanakan di rumah duka setelah 14 hari kematian. Manjanguak Mantah merupakan aktivitas upacara kematian yang
dilakukan oleh warga masyarakat yang dikenali oleh keluarga dukatampa
memperhitungkan kerrabat dengan keluarga duka dengan membawa sebuah panci yang
berisikan ayam, telur, dan beras ketan, sedangkan Manjanguak Masak adalah aktivitas pihak bako yang data ke rumah duka nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Tradisi tersebut masih tetap dilakukan oleh warga masyrakat setempat termasuk
kepada korban bencana alam sekalipun yakni pasca gempa 30 September 2009 yang
memporak porandakan Nagari Tandikek. Dengan kondisi seperti itu masyrakat masih
Permasalahan dalam penelitian ini antara lain: mengapa warga masyrakat Tandikek
masih mempertahankan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam
rangkaian upacara kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan makna
dari tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak.
Penelitian
etnografi ini menggunakan analisis teoritis interpretative simbolik oleh
Clifford Geertz. Penelitian dilakukan di Nagari Tandikek Kecamatan Patamuan
Kabupaten Padang Pariaman, pemilihan informan dilakukan teknik Purpusive Sampling. Pada penelitian ini
melakukan observasi partisipasi (pengamatan terlibat). Wawancara mendalam
dilakukan untuk memeperoleh gagasan dan ide tentang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak,
untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi data yaitu memberikan
pertanyaan yang relative sama terhadap informan untuk mengumpulkan data yang
sama. Analisis data dilakukan sejak awal penelitian dilakukan. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan analisis interpretative dengan langkah-langkah
hermenuetik data, menginterprestasi data, dan intarpratif direpresentasikan.
Hasil
penelitian dapat dikatahui bahwa masyarakat Nagari Tandikek tetap
mempertahankan tradisi tersebut tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak,
dengan maksud untuk menjalin tali sirahturrahmi supama lainnya tidak terputus,
sebagai ajang memberi dan menerima antara satu sama lain, dan tolong menolong sesama
makhluk sosial. Sesuai dengan ppendekatan Geertz yang digunakan dalam
mengungkap makna. Tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak juga merupakan
suatu gengsi sosial dalam masyarakat, dan tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak Masak untuk mendapatkan keuntungan bagi keluarga duka.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
banyak masyarakat dan suku bangsa di dunia, kematian merupakan peristiwa
penting yang memutuskan hubungan lahiriah dengan seseorang. Terputusnya
hubungan lahiriah tersebut menjadi pendorong munculnya pranata sosial[1]
dalam masyarakat yang berhubungan dengan
peristiwa kematian. Pada umumnya agama menganjurkan untuk menyelenggarakan
kegiatan yang berhubungan dengan seseorang yang meninggal tersebut dalam
kelompok sosial yang ditinggalkannya.
Pranata
sosial yang dikembangkan dalam
masyarakat itu menjadi menarik jika dilihat adanya perbedaan-perbedaan
yang belum diketahui oleh banyak kalangan di luar kelompok sosial atau
masyarakat tersebut. Upacara kematian[2]
memiliki ciri-ciri tersendiri antara satu suku bangsa dengan suku bangsa
lainnya. Sebagai contoh, di Bali ada upacara kematian yang disebut dengan Ngaben.[3]
Upacara Ngaben tersebut menjadi salah satu atraksi budaya di Bali,[4]
dan di Tanah Toraja terdapat pula upacara kematian yang disebut Rambu Solo.[5]
Tidak
heran lagi, upacara kematian sudah menjadi tradisi dalam banyak masyarakat dan
kebudayaan. Tradisi merupakan perwujudan budaya yang sangat penting yang dapat
diekpresikan dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis, pantangan-pantangan
dan sanksi-sanksi.[6] Tradisi
juga merupakan kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan
nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Adapun upaya dari masyarakat
untuk mempertahankan kebiasaan itu karena bagi mayarakat tersebut masih relevan
dan menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Namun, kebiasaan tersebut dapat juga
ditinggalkan karena tidak lagi dijalankan oleh masyarakatnya.
Tradisi
memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dari
kehidupan duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan.
Aturan-aturan, norma-norma dan sistem kepercayaan dikondisikan sebagai pola
dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Mereka Mempertahankan
norma-norma, nilai-nilai serta aturan-aturan adat sebagai pedoman berprilaku
dalam segala aspek kehidupannya.
Sebagai
sistem budaya tradisi merupakan suatu sistem yang menyeluruh yang terdiri dari
cara-cara dan aspek pemberian arti terhadap ajaran, ritual, dan lainnya, dari
manusia yang mengadakan tindakan antara satu manusia dengan manusia lainnya.
Begitu juga dengan masyarakat Minangkabau, mereka juga mempunyai tradisi yang
beranekaragam. Keanekaragaman tradisi masyarakat Minangkabau salah satu
diantaranya terdapat di Nagari Tandikek, yaitu tradisi yang berhubungan dengan
kematian. Masyarakat Nagari Tandikek masih menganggap penting upacara kematian.
Oleh karena itu, mereka masih melakukan upacara kematian sesuai dengan
aturan-aturan dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Sehingga, tradisi
tersebut diduga mempunyai makna bagi masyarakat yang melaksanakannya.
Dalam upacara kematian di Nagari
Tandikek terdapat rentetan kegiatan yang harus dijalankan oleh warga, mulai
dari memandikan mayat, mengafani, sampai pada
prosesi pemakaman. Masyarakat Tandikek dan masyarakat Minangkabau pada
umumnya, apabila ada keluarga, kerabat, sanak kemenakan dan lainnya menghadapi
musibah kematian, maka orang-orang yang ditinggalkan akan bergotong-royong
menyelenggarakan upacara kematian tersebut. Para kerabat akan hadir secara
bersama-sama untuk menyelenggarakan pemakaman jenazah. Setelah jenazah
dimakamkan, keluarga yang ditinggal melaksanakan upacara yang sudah sejak
dahulu dilakukan oleh masyarakat
Tandikek, seperti manamaik (hari
pertama), manigo hari (3 hari), manduo kali tujuah (14 hari), ma ampek puluah hari (40 hari), dan manyaratuih hari (100 hari). Di
Tandikek, terhitung sejak jenazah dikuburkan, masyarakat melakukan tahlilan
selama tiga hari berturut-turut di rumah duka. Kemudian duo
kali tujuah terhitung sejak jenazah
dikuburkan, dan dilaksanakan pula tradisi[7]
Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam rangkaian upacara kematian yang dimaksud.
Manjanguak
Mantah merupakan
aktivitas upacara kematian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang
dikenali oleh keluarga duka tanpa memperhitungkan hubungan kerabat dengan
almarhum/almarhumah. Individu yang datang (khususnya kaum ibu), biasanya
membawa sebuah panci yang dibungkus dengan kain putih berisikan telur mentah, ayam,[8]
dan beras ketan. Kemudian, Manjanguak
Masak adalah aktivitas pihak bako[9]
yang datang ke rumah duka dengan membawa nasi dan lauk pauknya. Nasi dan lauk
pauk tersebut dihidangkan dan dimakan secara bersama-sama beserta Urang Siak[10] pada
waktu 14 hari setelah setelah jenazah dikuburkan.
Penyelenggaraan upacara sangat penting artinya
bagi pembinaan sosial budaya anggota masyarakat yang bersangkutan, antara lain
salah satu fungsinya adalah sebagai pengukuhan norma-norma serta nilai-nilai
budaya yang berlaku secara turun temurun.[11]
Upacara Kematian merupakan salah satu pranata yang dilakukan oleh masyarakat
Tandikek yaitu tradisi Manjanguak Mantah
dan Manjanguak Masak. Tradisi ini
dilakukan setelah 14 hari setelah
jenazah dikuburkan.
Pada umumnya, jika masyarakat menghadapi sesuatu kematian, dilakukan berbagai aktivitas-aktivitas.
Aktivitas tersebut dikembangkan secara
tradisional. Sehingga, menjadi adat istiadat masyarakat setempat dan sulit untuk ditinggalkan. Adat istiadat
tersebut melingkari seluruh tahap-tahap kehidupan sejak lahir sampai mati.
Menurut Van Gennep, ia menyatakan bahwa
dalam tahap-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak lahir, kemudian
masa kanak-kanak, melalui
proses dewasa, menikah dan menjadi orang tua. Ia menganggap
rangkaian ritus dan upacara dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau
lingkaran hidup individu, secara umum dapat ditemui dalam masyarakat. Namun
masyarakat mempunyai perbedaan dalam memahami upacara tersebut. Suatu upacara
dianggap penting oleh suatu masyarakat dan kebudayaan belum tentu penting bagi
masyarakat dan kebudayaan lain, bisa saja bagi mereka tidak berarti sama sekali
sehingga tidak diberlakukannya upacara.[12]
Masyarakat Tandikek tetap melakukan tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak walaupun korban bencana alam sekalipun. Berbeda
dengan nagari yang ada di Kabupaten Padang Pariaman misalnya Nagari Padang
Alai, dan Nagari Padang Sago yang tidak melakukan melaksanakan tradisi
tersebut.
Penelitian tentang upacara kematian sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti diantaranya dilakukan Novitri[13]
pada tahun 2008 yang lalu. Novitri meneliti makna Tradisi Maanta Kasua dalam Upacara Kematian pada masyarakat Nagari
Kapau. Dalam penelitiannya, dia menemukan ada tiga makna yaitu ma anta
kasua Pertama, dari kekerabatan : (a) untuk menjalankan adat dan agama, (b)
adanya rasa solidaritas, Kedua, makna
dari pihak bako (a) agar hubungan
antara kekerabatan antara bako dan anak tidak putus, (b) tanda sucinya hubungan
kekerabatan, Ketiga, makna bagi pihak
anak/keluarga yang ditinggalkan yaitu maanta
kasua sebagai Maantok Tangih Mambasuah
Lantai.
Penelitian lain yang dilakukan oleh
Ernatip dkk[14] yang
membahas Pasambahan dalam Upacara
Kematian di Kecamatan Kuranji Kota Padang. Dalam penyelenggaraan jenazah
terdapat perbedaan antara (1) jenazah panghulu, niniak
mamak bajinih,
(2) jenazah orang kebanyakan, masyarakat umum, (3) jenazah remaja dan
anak-anak. Bila yang meninggal dunia itu penghulu, niniak mamak bajinih urutan kegiatannya
adalah Mancabiak Kain Kapan, Pasambahan,
mamandikan, mengapani, Menyembayangkan,
Adat Tangah Padang dan menguburkan. Bila yang meninggal mayarakat umum
urutan kegiatannya adalah Mancabiak Kain
Kafan, asambahan, mamandikan,
mengafani, menyembayangkan dan
menguburkan. Di pihak lain kalau yang meninggal itu remaja dan anak-anak, tidak
diselenggarakan secara adat hanya berlaku 4 D yaitu (dimandikan, dikapani,
disembahyangkan dan dikuburkan) sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berbeda dengan dua penelitian di atas
sejauh ini dalam tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak dalam
upacara kematian belum ada diteliti sedangkan sampai saat ini tradisi Manjanguak Mantah dan Majanguak Masak masih bertahan di
masyarakat Tandikek, termasuk kepada korban bencana alam sekalipun. Tradisi
tersebut sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Tandikek, tetapi
tidak di nagari lainnya. Menurut informasi yang diperoleh, gempa pada tanggal
30 September 2009 di Nagari Tandikek yang mengakibatkan ratusan orang
meningggal dunia akibat tertimbun longsor. Dengan kondisi seperti itu, dua
minggu setelah setelah terjadi bencana tersebut masyarakat Tandikek masih tetap
melakukan upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dari sekurang-kurangnya ada 25 keluarga yang
selamat dari bencana tersebut. Aktivitas tersebut mereka lakukan di tenda-tenda
darurat, atau di rumah yang masih dapat dihuni (tidak mengalami rusak berat).[15]
Dari penjelasan Bapak Bagindo Sutan tampak, bahwa, tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak masih melekat dalam masyarakat Tandikek yang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan masyarakat setempat.
B.
Batasan
dan Rumusan Masalah
Upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak sebagai bentuk upacara yang dilakukan dan dipahami oleh masyarakat
setempat, dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan maupun benda-benda yang
digunakan yang secara keseluruhan diasumsikan memiliki makna oleh masyarakat. Upacara
ini tetap dilakukan oleh masyarakat setempat, meskipun suasana yang amat sulit sekalipun seperti pada
kematian yang terjadi akibat bencana alam gempa. Bahkan upacara itu mereka
lakukan di tenda-tenda sekalipun. Bertolak dari focus dan realitas di atas secara implisit termaktup betapa pentingnya
upacara tersebut, sehingga dalam kondisi yang sangat rumit upacara ini tetap
dilaksanakan. Dalam konteks demikian peneliti tertarik untuk meneliti mengapa pranata tetap dipertahankan oleh
masyarakat Tandikek dan apa makna yang terkandung dalam tradisi tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah menjelaskan makna tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak pada
upacara kematian di Nagari Tandikek.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan
tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat: (1) Sebagai
landasan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji pokok persoalan
terkait dengan kebudayaan secara lebih
mendalam atau fenomena yang sama di daerah lain. (2) Sebagai referensi untuk
pembaca, khususnya tentang upacara kematian secara antropologis.
E. Kerangka Teoritis
Penelitian mengenai upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak ini menggunakan
pendekatan kebudayaan melalui teori Interpretatif oleh Clifford Geertz.[16]Menurut
Geertz kebudayaan itu adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara
historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwariskan
yang terungkap ke dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan sikap-sikap tentang kehidupan.[17]Artinya
untuk mamahami sebuah kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,
seseorang dituntut untuk mempelajari simbol- simbol yang terdapat pada masyarakat tersebut.
Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak yang dilaksanakan oleh masyarakat Nagari Tandikek merupakan suatu
upacara yang memiliki makana tersendiri. Pelaksanaannya berawal dari penafsiran
masyarakat pendukungnya, serta dicerminkan melalui praktik-praktik atau
kegiatan yang berhubungan dengan tradisi tersebut.
Menurut Geertz kebudayaan dilihatnya
sebagai sebagai sistem yang terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan,
dengan kata lain kebudayaan itu merupakan sebuah konteks, dan sesuatu di
dalamnya dapat dijelaskan secara mendalam.[18]Geertz
mendefenisikan kebudayaan sebagai; (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan
simbol-simbol tersebut individu-individu mendefenisikan, mengekspresikan
perasaan-perasaan dan membuat penilaian; (2) suatu pola makna-makna
ditrasmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik,
yang melalui bentuk-bentuk simbol tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan,
dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan;
(3) suatu prilaku simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ektrasomatik
dari informasi; dan (4) karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka
proses kebudayaan harus dipahami diterjemahkan dan diinterpretasi.[19]
Lebih jauh Geertz mengemukakan bahwa
teori interpretatif menekankan arti penting partikularitas suatu kebudayaan dan
berpendirian bahwa sasaran sentral kajian sosial adalah interpretasi dari
praktek-praktek manusia yang bermakna. Teori interpretatif dihubungkan dengan
konsep simbol, sehingga Geertz mengembangkan teori interpretatif dengan teori
interpretivisme simbolik memandang manusia sebagai pembawa produk sekaligus subjek
dari suatu sistem tindakan dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi
untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan simbol dan pedoman untuk
bertindak dan berprilaku. Simbol menurut Geertz adalah objek, kejadian, bunyi
suara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Simbol dapat
dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan
sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analis-logis atau melalui
asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Selain itu manusia memberikan makna
kepada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran,
gagasan dan emosi.[20]
Dari defenisi di atas, dapat dipahami
kebudayaan didasarkan penafsiran dan melalui penafsiran tersebut manusia
mengontrol sikap dan perilakunya, menjalankan suatu kebiasaan dan keyakinan
yang didapat oleh individu dan masyarakat sebagai warisan yang diperoleh dan
harus dijalankan, serta dinterpretasikan dalam kehidupan mereka.
Aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh masyarakat, memiliki berbagai maksud
dan mengandung makna. makna tersebut diinterpretasikan dalam berbagai bentuk
kegiatan manusia, bertolak dari realitas
ini, antropolog menemukan makna bukan menginterpretasikan data yang empiris.[21]
Bagi masyarakat Tandikek pelaksanaan tradisi
Manjanguak Mantah dan Manjaguak
Masak merupakan wujud dari aktivitas
anggota masyarakat yang menunjukan rasa berkabung terhadap keluarga yang mendapat musibah
kematian. Antara masyarakat banyak (Manjanguak
Mantah) dengan pihak bako, mempunyai aktivitas yang berbeda
dilihat dari barang yang dibawanya ke rumah duka. Dalam aktivitas tersebut
terdapat kegiatan yang mengandung simbol, sehinga dari simbol tersebut dapat
diketahui makna aktivitasnya.
F. Penjelasan
Konsep
1.
Upacara Kematian
Upacara kematian adalah suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan peristiwa kematian
seseorang untuk menunjukkan perasaan berkabung.[22]
Upacara yang dilakukan sesuai dengan adat dan kebiasaan dari masyarakat yang
bersangkutan. Proses penyelenggaraan upacara kematian di Minangkabau pada
umumnya terdiri atas memandikan, mengafani, menguburkan, dan mendoakan jenazah.
Di Nagari Tandikek setelah empat dilaksanakan,
diikuti pula dengan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak sebagai ungkapan rasa berkabung sebagai pranata dalam upacara kematian yang tetap berlangsung hingga kini.
2.
Manjanguak
Mantah
Tradisi
Manjanguak Mantah merupakan rangkaian upacara kematian yang dilakukan pada hari
ke-14 setelah kematian. Manjanguak Mantah dalam penelitian ini diartikan
sebagai aktivitas individu yang datang ke rumah duka dengan membawa bahan makananan berupa beras keta, telur dan ayam
kampung yang belum dimasak. Peralatan tersebut dimasukkan ke dalam bakul
kemudian diantarkan secara adat ke rumah duka untuk dimanfaatkan dalam upacara
kematian ke-14 di rumah duka.
3.
Manjanguak
Masak
Manjanguak
Masak adalah aktivitas bako[23] yang
datang ke rumah duka dalam
peringatah hari ke-14 upacara kematian. Dalam konteks ini bako membawa makanan yang sudah dimasak (siap untuk disajikan)
berupa nasi, lauk pauk dan lemang ke rumah duka. Setelah tiba di rumah duka
makanan itu diserahkan kepada pihak duka. Kemudian bawaan pihak bako dan
masakan yang berasal dari orang yang datang Manjanguak
Mantah, dihidangkan untuk dimakan bersama. Sebelum makan terlebih dahulu dilakukan doa bersama yang
ditujukan untuk orang yang meninggal, keluarga duka, dan orang yang hadir dalam
upacara tersebut.
G. Metodologi Penelitian
1.
Pendekatan dan Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini,
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.[24]
Melalui penelitian ini penulis akan memperoleh informasi lebih luas dan
mendalam tentang radisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak. Dalam
penelitian ini peneliti berupaya memahami peristiwa secara alami sesuai dengan
sewajarnya, maka disini terlihat bahwa antara peneliti dengan masyarakat yang
diteliti berinteraksi dengan baik tanpa ada rekayasa. Dilihat dari segi tipe penelitian
ini termasuk penelitian etnografi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinoswki,[25] etnografi bertujuan untuk memahami sudut
pandang penduduk asli, hubunganya dengan kehidupan untuk mendapatkan padangan
mengenai dunianya[26]
dengan menggunakan deskriptif interpretatif untuk mendapatkan penjelasan yang
lebih terperinci mengenai gejala sosial.
Penelitian etnografi ini
digunakan untuk memahami tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak
Masak secara alamiah dalam kontek masyarakat Tandikek menurut perspektif
mereka. Untuk maksud tersebut interaksi antara peneliti dengan masyarakat yang
diteliti bersifat sewajarnya, tanpa direkayasa sehingga perspektif emik bisa
dipertahankan. Inti etnografi adalah mencoba memahami makna perbuatan dan
kejadian (dalam hal upacara Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak dalam upacara kematian) bagi
masyarakat setempat menurut kebudayaan dan pandangan mereka.
2.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di
Nagari Tandikek Kecamatan Patamuan Kabupaten
Padang Pariaman. Nagari ini dipilih karena satu-satunya nagari yang masih
mempertahankan tradisi Manjanguak Mantah dan Majanguak Masak di Kabupaten Padang Pariaman, bahkan
ketika Nagari Tandikek diporak-porandakan oleh gempa bumi pada tanggal 30
September 2009, tradisi tersebut tetap dijalankan oleh masyarakat Tandikek.
Kejadian itu mengingatkan bahwa tradisi Manjanguak
Mantah dan Majanguak Masak sangat urgen bagi masyarakat setempat.
3.
Pemilihan informan penelitian
Pemilihan informan dilakukan
dengan sengaja (purposive sampling),
dengan maksud, peneliti memilih informan
berdasarkan kriteria penelitian. Informan dipilih dengan mempertimbangkan bahwa
mereka memiliki pengetahuan luas atau
berpengalaman dalam pelaksanaan tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak. Teknik ini memungkinkan
untuk dilakukan, karena peneliti sudah memahami pemetaan subjek yang diyakini mengerti serta mengetahui tradisi ini.
Informan yang menjadi subjek penelitian adalah masyarakat Tandikek yang terdiri
dari Wali Nagari, Labai, tokoh adat, tokoh
agama, dan orang yang melakukan Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak. Setelah penelitian dilakukan,
maka informan dalam penelitian ini berjumlah 34 orang, yang terdiri dari tiga orang
pejabat kantor Wali Nagari, empat orang Datuak
Panghulu Suku, tiga orang tokoh agama, empat orang yang melakukan Manjanguak Masak, dua orang yang melakukan Manjanguak
Mantah, dua orang yang melakukan upacara kematian dan dua belas orang masyarakat biasa,
satu orang dukun, satu orang pemilik toko
emas, dan satu orang
mahasiswa. Informan sudah dianggap cukup karena tidak
didapatkan lagi informasi baru tentang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak dan sudah mampu menjawab
permasalahan penelitian. Oleh karena itu penelitian sudah memungkinkan untuk
diakhiri.
H. Pengumpulan Data
Pada penelitian etnografi metode
pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipasi (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview).[27]
1.
Observasi partisipasi
Dalam penelitian ini peneliti
melakukan observasi partisipasi, dimana peneliti melihat dan mengamati secara
cermat proses dalam upacara Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak.
Peneliti hadir di upacara kematian dan mengerjakan hal-hal yang memungkinkan seperti membantu memasak di rumah duka,
tanpa menganggu kegiatan yang sedang berlangsung. Keikutsertaan peneliti dengan
subjek yang diteliti berwujud dalam hubungan sosial dan emosional agar data
yang diperlukan bisa didapatkan.[28]
Seperti penelitian yang dilakukan di rumah Lambuak di Korong Galoro pada
tanggal 12 Desember 2010. Peneliti ikut membantu aktivitas membuat lemang, membantu memasak guna persiapan untuk
menjamu Urang Siak pada sore harinya.
Pada awalnya peneliti sempat dimarahi oleh seorang nenek karena kecerobohan
peneliti dalam melakukan aktivitas memasak di rumah duka.[29]Selanjutnya peneliti menemui informan tersebut di
warung untuk meminta maaf guna mendapatkan data yang lebih detail.
2. Wawancara Mendalam (Indept Interview)
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (indept
interview),[30] yakni
wawancara informan telah mengetahui maksud dan tujuan peneliti dengan
pertanyaan terbuka. Tujuan untuk melakukan wawancara ini adalah untuk mendengar, mencatat, memahami, secara
seksama dan mendetail tentang seluk beluk upacara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak di Nagari Tandikek.
Wawancara mendalam dilakukan kepada dua puluh tiga informan, yang dilakukan
pada siang, sore dan malam hari. Selain itu, wawancara juga dilakukan disaat
berada dirumah duka, dan di warung. Pertanyaan dikembangkan berdasarkan pedoman
wawancara[31] yang
dibuat sebelum terjun ke lapangan. Selanjutnya, jawaban dari informan digali
dengan mengajukan pertanyaan mendalam, sehingga diperoleh informasi yang detil
tentang tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak dari para informan. Melalui
teknik tersebut bisa diperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan secara
metodologis dan ilmiah.
I.
Triangulasi Data
Untuk mendapatkan data yang valid, maka dilakukan
triangulasi data dengan menggunakan beberapa orang sumber data (informan) untuk
mengumpulkan data yang sama. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap relatif sama terhadap informan untuk
mengumpulkan data yang sama. Data dianggap valid setelah dicek ulang kepada
informan yang berbeda. Data yang sudah valid kemudian dianalisis, sehingga
dapat menjawab semua pertanyaan penelitian yang disiapkan dalam pedoman wawancara.
Selanjutnya
triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara membandingkan data
hasil pengamatan dengan wawancara, kemudian peneliti membaca ulang data secara
sistemik (tersusun) dan memeriksa berulang kali. Data dianggap valid jika data
yang diperoleh sudah relatif sama dari sumber yang berbeda. Apabila dengan
kedua teknik pengumpulan data tersebut menghasilkan data yang berbeda-beda,
maka peneliti menggali informasi lebih dalam dan berdiskusi lebih lanjut dengan
informan yang bersangkutan untuk memperoleh data yang dapat dianggap benar.
Data dianggap valid jika didapat data dan informasi yang sama dari data
penelitian sebelumnya.
J.
Analisa
Data
Analisis
data dilakukan sejak awal penelitian dilaksanakan, karena yang diteliti adalah
proses maupun produk dari proses. Untuk itu, dalam mengumpulkan data selalu
dilengkapi dengan pembuatan catatan lapangan. Catatan lapangan bertujuan untuk
mencatat informasi hasil wawancara, hasil pengamatan yang berhubungan dengan
masalah penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
analisis etnografi dari Clifford Geertz[32]
dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Hermeneutik Data
Pada
tahap hermeneutik data peneliti berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi
data yang terkait dengan permasalahan penelitian. Peneliti memperoleh
pengetahuan tradisi ini dimulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji
(the native). Selanjutnya dilakukan
proses memerinci data, memeriksa data, membandingkan data, dan mengkategorikan
data yang muncul dari hasil catatan lapangan mengenai tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Hermeneutik data berlangsung terus menerus
baik pada saat tahap pengumpulan data dan berlanjut terus sesudah penelitian
lapangan sampai laporan akhir lengkap tersusun.
- Menginterpretasikan Data
Menginterpretasikan
data dilakukan dalam upaya menemukan makna setiap simbol. Geertz mengungkapkan
makna dalam masyarakat harus berasal dari ”native
point of view.” Dengan demikian pada tahap ini dilakukan analisis hubungan
antar kategori yang diperoleh dari hermeneutik data untuk kemudian disusun,
diatur sesuai pokok permasalahan sehingga memudahkan menemukan makna pada
setiap kategori.
- Interpretatif direpresentasikan
Interpretatif
direpresentasikan sesuai kenyataan yang dipaparkan yaitu apa yang dipahami oleh
pelaku budaya sehingga berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan mengenai tradisi
Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak secara panjang lebar yang disebut dengan thick description atau deskripsi tebal.
Sehingga dapat menggambarkan secara mendalam berbagai peristiwa dan berikut
makna-makna yang terkandung di dalamnya. [33]
Tahap-tahap
di atas merupakan sesuatu yang jalin menjalin, berulang dan terus-menerus
selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, sehingga
membentuk konfigurasi yang utuh. Dalam
penelitian ini peneliti memahami tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak dari sudut pandang
masyarakat yang melaksanakannya, kemudian dari hasil memahami tradisi dari
sudut pandang masyarakat maka selaku peneliti berupaya menemukan makna dan
setelah itu selaku peneliti memaparkan hasil penelitian itu dengan teori yang
relevan sehingga menjadi jelas. Berdasarkan hasil pemahaman inilah peneliti
menyusun laporannya dalam bentuk skripsi, dimana di sini peneliti mengungkapkan
makna serta kebertahanan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak.
BAB II
GAMBARAN UMUM
NAGARI TANDIKEK
A.
Kondisi Geografis dan Demografis
Secara admistratif, Tandikek merupakan salah satu nagari yang terdapat
di Kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman. Luas nagari ini adalah 50,13
km², terdiri dari 11 jorong yaitu: Galoro dengan luas 3,09 km², Sarang Gagak
dengan luas 1,65 km², Lareh Nan Panjang dengan luas 4,75 km², Pulau Aie dengan
luas 6, 23 km², Lubuak Laweh dengan luas 3, 01 km², Paramantalang dengan luas
6, 32 km², Lubuak Aro dengan luas 8, 25 km², Lubuak Kumbuang dengan luas 3, 75
km², Pucuang Anam dengan luas 5, 45 km² , Kabun Pondok Duo dengan luas 2, 63
km², dan Sei Kasikan dengan luas 4, 01 km². Di antara 11 jorong, jorong yang
paling luas adalah jorong Paramantalang seluas 6,32 km²[34].
Menurut Arlis[35]
Nagari Tandikek berasal dari daerah Andiko Paramantalang, Niniak Mamak di Mudiak
Padang, dan Urang Tuo Puncuang Anam. Pada daerah
tersebut terdapat empat suku asli Nagari Tandikek yang dinamakan koto nan ampek sebagai berikut: Koto Nalah dari suku
Piliang, Koto Katiak dari suku Koto, Koto Padang dari suku Sikumbang,
dan Koto Panjang dari suku Tanjuang. Wilayah Koto Nan Ampek ini diikat menjadi satu yang disebut “tahan diikek (tahan diikat)” yang artinya empat suku ini tetap
bersatu walau dalam situasi apapun dan tidak terlepas dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lain hal yang
dikatakan Datuak Palembang Basa,[36]sebelum
masuknya islam ke Tandikek, adat dan agama berjalan sendiri-sendiri. Dahulu di
Tandikek ada seorang yang bernama Kalik-kalik
Jantan, konon kabarnya dia adalah
kumbang-kumbangnya Cindue Mato yang
beragama Budha yang lari ke gunung, sekarang dinamakan Gunung Tandikek. Kalik-kalik Jantan, ini
mempunyai ilmu yang sangat tinggi semua orang tidak mampu untuk melawannya.
Pernah suatu ketika Kalik-kalik Jantan ini diikat dengan kawat besi, namun kawat besi itu terlepas
dengan kekuatan yang dimilikinya. Jadi masyarakat memberikan nama “tahan diikat” yang merupakan asal kata dari
Tandikek. Nagari Tandikek secara geografis berbatasan dengan:
Sebelah
Utara : Nagari Malalak
Kabupaten Agam.
Sebelah
Selatan : Nagari Sei Durian
Kecamatan Patamuan
Sebelah
barat : Batu Kalang dan
Nagari Padang Alai kecamatan Padang Sago dan Kecamatan V Koto Timur.
Sebelah
Timur : Nagari Guguk dan
Nagari Kapalo Hilalang 2x11 Kayu Tanam
Penduduk Nagari Tandikek berdasarkan
data dari kantor walinagari tahun 2008 tercatat sebanyak 10.595 jiwa. Penduduk
laki-laki terdiri dari 5.158 jiwa sedangkan sedangkan jumlah perempuan sebanyak
5.437 jiwa. Paska gempa pada tanggal 30 September 2009, yaitu Jorong Lubuak
Laweh, Cumanak dan gunung Tigo[37]
tertimbun longsor yang mengakibatkan banyak yang meninggal dunia sampai
sekarang ini data jumlah penduduk belum
terakomodasi seluruhnya, diduga terjadi pengurangan jumlah penduduk pada
tahun 2010.[38]Jumlah
penduduk di Nagari Tandikek berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008 hal ini
dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Penduduk Nagari Tandikek
berdasarkan Jenis Kelamin
No.
|
Nama
Jorong
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Galoro
Sarang
Gagak
Lareh
Nan Panjang
Pulau
Aie
Lubuak
Laweh
Paramantalang
Lubuak
Aro
Lubuak
Kumbuang
Pucung
Anam
Kabun
Pondok Duo
Sei
Kasikan
|
511
280
65
471
214
1.021
254
452
325
472
593
|
531
335
71
554
294
1.022
231
444
358
487
611
|
1.041
615
136
1.025
508
2.043
485
896
683
959
1.204
|
Jumlah
|
5.158
|
5.437
|
10.605
|
Sumber: Kantor Wali Nagari Tandikek
2008
Berdasarkan
tabel 1. di atas, dari 11 jorong di Nagari Tandikek Jorong Paramantalang
menempati posisi teratas dengan jumlah penduduk 2.043 jiwa, kemudian diikuti
Jorong Galoro dan Sei. Kasikan dengan jumlah penduduk 1.025 dan 1.041 jiwa.
Selanjutnya dikuti Jorong Pulau Aie dengan jumlah penduduk 1.204 jiwa.
Masyarakat Nagari Tandikek sebagian besar memiliki
pekerjaan sebagai petani. Hal ini disebabkan kondisi tanahnya yang subur dan
sangat cocok sebagai daerah agrikultur. Selain sebagai petani, masyarakat
Tandikek juga bergerak di bidang peternakan, seperti beternak ayam, kerbau dan
sapi, jasa, perkebunan kelapa, kakao,
pinang, dan cengkeh. Selain sub sektor pertanian, perkebunan dan peternakan
juga ada sektor industri kecil dan sedang yang juga mampu menopang perekonomian
penduduk, seperti jenis usaha kerupuk kulit, jenis usaha pembuatan roti.
Selain usaha-usaha yang telah
disebutkan, masyarakat Tandikek sebagian juga bekerja disektor perdagangan,
transportasi, dan jasa. Di sektor perdagangan sebagian penduduk membuka warung-warung
kecil-kecilan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari (sembako). Hal ini
cukup membantu masyarakat di sekitarnya jika tidak bisa berbelanja ke pasar.
Di Tandikek terdapat satu pasar
tradisional (pasar mingguan) sebagai pusat jual-beli masyarakat Tandikek. Pasar
tersebut merupakan sarana penting dalam kehidupan masyarakat Tandikek. Pada
umumnya, hasil panen pertanian dan perkebunan dijual ke pasar ini untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mayoritas
penduduk masyarakat
Tandikek hanya tamat SD dan SLTP. Di samping
itu, masih banyak penduduk yang masih buta huruf. Berdasarkan data yang
diperoleh, jumlah masyarakat yang buta huruf adalah 1.431 jiwa. Di Nagari Tandikek
terdapat 3 (tiga) buah SLTP Negeri, 10 (sepuluh) buah SD, TK sebanyak 2 (dua)
buah, sedangkan SLTA tidak ada di Nagari Tandikek. Bagi anak-anak yang ingin
melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA, terpaksa mereka harus bersekolah di
Kota Pariaman dengan jarak tempuh lebih kurang 25 menit. Hal ini mempengaruhi keinginan
bersekolah mengingat jauhnya jarak tempuh dan membutuhkan biaya yang besar.
Berikut ini dapat kita lihat tingkat pendidikan masyarakat Tandikek.
Tabel 2. Tingkat pendidikan di Nagari Tandikek
No.
|
Tingkat Pendidikan
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
|
Buta Huruf
Tidak Tamat SD
Tamat SD
SLTP
SLTA
D1
D2
D3
S1
S2
S3
|
1.431
1.800
3.000
2.500
1.734
15
20
25
75
5
-
|
Jumlah
|
10.605
|
Sumber: Kantor Wali Nagari Tandikek
2008
Wilayah Tandikek sebagian besar
berbukit-bukit yang diisi dengan pekerbunan, pertanian dan sebahagian kecil yang
digunakan sebagai areal pemukiman. Areal Pemukiman berupa perumahan dan
perkarangan. Tempat tinggal penduduk terkonsentrasi dalam beberapa kelompok
yang letaknya berpencar-pencar berdasarkan
suku yang dimilikinya (segregasi).
Pada umumnya mereka yang membuat rumah dan masing-masing kelompok adalah satu
kerabat terdiri dari beberapa buah rumah. Kelompok-kelompok tersebut bukan
untuk tujuan mengasingkan diri dari masyarakat lainnya, tetapi untuk tujuan
pertanian dan peternakan.
Daerah
pusat pemukiman terletak disepanjang jalan yang membelah pemukiman tersebut.
Bentuk pemukimannya berderet-deret saling berhadapan antara satu bangunan
dengan bangunan lainnya. Ada pula bangunan tersebut terdiri dari satu baris
saja. Selain dari perumahan, dilengkapi pula dengan sarana ibadah mesjid,
mushalla dan surau, sarana pendidikan, dan pemerintahan.
Rumah
penduduk pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan semen, sebagian besar berupa
rumah panggung. Pada saat sekarang sudah banyak terdapat rumah permanen yang
terbuat dari semen dengan arsitektur yang disesuaikan dengan model dan selera
yang lazim digunakan pada masa sekarang. Pada saat ini, sangat jarang
masyarakat Tandikek yang mau membangun rumah yang terbuat dari kayu, umumnya
jika membangun rumah sekarang masyarakat lebih meilih bangunan permanen yang
terbuat dari semen.
Pasca gempa pada tanggal 30 September
2009 di Nagari Tandikek mengakibatkan
sebagian kondisi rumah penduduk mengalami rusak berat. Hingga ini masyarakat
masih ada yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan di samping reruntuhan
rumah mereka, mendirikan rumah terbuat dari kayu yang sangat sederhana sekali.
Masyarakat Nagari
Tandikek
sangat senang sekali karna dapat bantuan berupa rumah ukuran 4 m x 7 m dari
Kanada sebanyak 900 unit rumah. Rumah ini diperuntukan bagi masyarakat yang
rumahnya mengalami rusak berat.[39]
Sistem kekerabatan masyarakat Nagari Tandikek
adalah matrilinial atau berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan demikian,
seorang anak secara otomatis termasuk dalam kerabat ibunya dan mempunyai hak
atas harta pusaka kerabat ibunya. Seorang anak laki-laki apabila telah menikah
akan bertemapat tinggal di rumah istri atau di lingkungan kerabat istri. Ia
bestatus sebagai urang sumando bagi kerabat istrinya.
Prinsip keturunan matrilineal yang dianut
oleh masyarakat Tandikek membawa implikasi terhadap tata hubungan dalam
kekerabatan. Artinya, seseorang akan sering berhubungan dan merasa lebih dekat
dengan kerabat ibunya, namun bukan berarti tidak akrab dengan keluarga ayahnya.
Kerabat ayah yang lazim disebut bako,
tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorang karena dalam hal tertentu bako mempunyai peran yang sangat penting,
misalnya dalam upacara kematian Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak. Ada
kewajiban-kewajiban secara adat yang mesti dijalankan oleh bako.
Dalam hubungan kekerabatan, yang lebih
tua mesti dihormati dan yang lebih muda disayangi. Orang yang lebih tua tidak
boleh dipanggil dengan namanya saja, tetapi harus panggilan kehormatan sesuai
dengan posisinya dalam kerabat, baik itu kerabat ayah maupun kerabat ibu[40]
Hubungan sosial dalam kekerabatan masyarakat Nagari Tandikek tercermin dalam
penggunaan istilah kekerabatan yang mereka gunakan. Istilah kekerabatan yang yang
dimilki disesuaikan dengan kebiasaan tradisional dan masih digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun istilah kekerabatan yang digunakan dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3. Nama-Nama Panggilan
Kekerabatan
Hubungan Kerabat
|
Panggilan
|
Ayah
Ibu
Saudara
laki-laki yang tua
Saudara
perempuan yang tua
Saudara yang
lebih muda
Kakek
Nenek
Saudara
laki-laki ibu
Saudara
perempuan ibu
Saudara
laki-laki ayah
Istri mamak
Kerabat ayah
Panghulu
|
Abak,
Amak
Udo,
Ajo
Uni,
elok, one, cik tam, cik uniang
Uncu
Uwo
Mak
uwo
Mak
dang, Mak ngah, Maetek
Etek,
Ande
Apak
Mintuo
Bako
Mamak
|
B.
Kehidupan Keagamaan dan Upacara
Penduduk Nagari Tandikek seluruhnya beragama Islam.
Agama islam mereka anut secara turun temurun. Agama bagi masyarakat Nagari Tandikek
memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu acara pesta maupun
acara duka selalu diawali dengan doa-doa khusus, seperti yang dilakukan pada
upacara kematian.
Masyarakat Tandikek sebagian besar
penganut tarekat syatariah. Di Nagari ini terdapat pondok pesantren yang anak
didiknya tidak hanya berasal dari daerah tersebut, tetapi juga berasal dari
luar daerah seperti dari Agam, Batusangkar, Padang Panjang dan daerah lainnya.
Sarana-sarana ibadah yang ada di Nagari Tandikek adalah masjid, mushalla, dan
surau. Masjid tercatat sebanyak 12 (dua belas) buah sedangkan mushalla dan surau sebanyak 11
(sebelas) buah. Kegiatan keagamaan yang
biasa dilakukan masyarakat Nagari Tandikek adalah Jum’atan, pengajian umum, pengajian ibu-ibu, pengajian anak-anak,
pengajian remaja, yasinan dan peringatan hari besar keagamaan.
Masyarakat Nagari Tandikek merupakan
penganut agama Islam yang taat. Meski demikian, masih sebagian penduduknya
masih percaya dan meminta pertolongan kepada makhluk ghaib, berobat kedukun, tukang upeh, dan mempercayai hal-hal yang bisa mendorong seseorang pada
kesyirikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor ekonomi.
Mahalnya biaya berobat ke dokter, membuat masyarakat lebih memilih berobat
kedukun yang relatif lebih murah.
Masyarakat Tandikek segala sesuatu
dikaitkan dengan magis. Hal ini terlihat dalam berbagai aktifitas seperti
bidang pertanian, perdagangan, dan pengobatan. Di bidang pertanian dikenal
beberapa ritual mulai dari proses menanam padi sampai panen. Ritual tersebut
diwujudkan dalam bentuk upacara, seperti upacara Manabuah Baniah ( tujuan supaya benih mendatangkan hasil yang baik
nantinya), upacara Mamintak Ubek Padi (tujuan supaya padi yang mulai
berbuah terhindar dari hama dan penyakit), serta upacara Maambiak Padi (upacara sebelum panen), dengan mengambil beberapa
tangkai padi lalu ditumbuk menjadi beras dan dicampur dengan beras sisa panen
sebelumnya, untuk kemudian dimakan bersama dalam acara yang dinamakan Mamakan Hulu Tahun/ memakan beras baru.
Pemanfaatan hal-hal yang bersifat magis juga ditemui di bidang perdagangan. Ini
terlihat dari ritual yang dilakukan pedagang untuk Maureh lapau atau Maureh Kadai (menyebarkan ramuan yang
diminta kepada dukun, di sekeliling tempat usaha) atau dengan memasang jimat
dan benda-benda lain yang diberi dukun di tempat usaha tersebut dengan harapan
dagangan menjadi laris, begitu juga dalam hal pengobatan. Berbagai ragam
penyakit yang menimpa masyarakat dicari penyembuhannya dengan bantuan kekuatan
magis (melalui dukun)[41]
Aktivitas adat istiadat sebagai salah
satu wujud kebudayaan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan semua
suku bangsa. Adat istiadat direfleksikan melalui unsur religi dalam sistem
kepercayaan keagamaan. Upacara keagamaan atau rites adalah kelakuan keagamaan
yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku.
Upacara keagamaan dalam kehidupan
masyarakat mempunyai peranan penting untuk mencapai tujuan hidupnya. Seperti
yang dikemukakan oleh Preusz, bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang
ada di dunia ini adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang
dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia mengira
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidup baik yang
bersifat material maupun spiritual.[42]
Adapun tradisi yang dijalankan masyarakat Tandikek sebagai berikut .
1.
Bulan Sumbareh
Merupakan salah satu bulan untuk
membuat sumbareh. Sumbareh adalah sejenis makanan rakyat
yang terbuat dari tepung beras. Makanan ini akan di bawa ke rumah ipar, besan,
dan keluarga lainnya. Makanan ini juga dibuat dalam rangka mendoakan anak-anak
yang telah meninggal dunia yaitu sebagai makanan yang disajikan untuk melakukan
aktivitas berdoa. Bulan sambareh jatuh pada bulan Rajab, merupakan bulan yang
baik untuk mendoakan anak-anak yang telah meninggal dunia. Pada bulan Rajab ini
masyarakat membuat Sumbareh dan
mendoakan yang telah meninggal dunia[43].
2.
Bulan Lamang (Malamang)
Malamang suatu tradisi
yang dilakukan dalam bulan Syakban. Pada bulan Syakban ini masyarakat Tandikek
membuat Lamang (lemang) yaitu makanan
yang terbuat dari berasa ketan yang dimasak dalam ruas bambu. Tradisi ini
bertujuan untuk mendokan arwah nenek moyang terdahulu, yaitu untuk mengenang
mereka serta ucapan maaf keluarga kepada orang yang telah meninggal tersebut,
karena keluarga yang bersangkutan akan menjalankan ibadah puasa.
3.
Bulan Mauluik ( Maulid Nabi Muhammad SAW)
Tradisi Mauluik dilakukan oleh
masyarakat Tandikek dalam rangka merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan
membuat makanan diantaranya nasi Jamba¸
lemang, dan kue-kue kecil lainnya. Makanan ini dibawa ke masjid dan
surau-surau. Dalam melaksanakan Mauluik dilakukan
Bazikie (berzikir), Bakayaik (berhikayat), dan melakukan
pelelangan kue-kue dan nasi Bajamba yang
dibawa oleh setiap masyarakat ke surau-suru tersebut.
4.
Tradisi Basapa
Basapa
merupakan tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat Tandikek pada bulan Syafar. Tradisi ini dalam rangka memperingati
kematian Syekh Burhanuddin yang bertepatan pada tanggal 10 Syafar. Syekh
Burhanuddin salah seorang tokoh penyebar agama Islam yang menyebarkan Islam
pertama di Pariaman. Syekh Burhanuddin sangat disegani dan dihormati sehingga
makamnya pun dikeramatkan oleh masyarakat. Adapun yang aktivitas di makam
tersebut seperti Sembahyang 40, mancabiak
kain tirai makam, berzikir, dan mencuci muka dengan air kerang yang
terdapat di makam. Makam Syekh Burhanuddin
tidak hanya ramai dikunjungi oleh orang dari Pariaman, bahkan dari luar
daerah seperti Padangpanjang, Padang, Payakumbuah, Sijunjung, dan tidak sedikit
di antara mereka juga berasal dari Propinsi Jambi, Aceh, Riau, dan Bengkulu.
5.
Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak
Sejak dahulu sampai sekarang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak pada
waktu upacara kematian masih dipertahankan oleh masyarakat Tandikek. Tradisi
ini dilakukan ketika empat belas hari setelah jenazah dikuburkan. Bukti
kebertahanannya yaitu ketika gempa pada tanggal 30 September 2009 masyarakat
masih melakukan tradisi tersebut walau terjadi bencana alam sekalipun.
Sejarah asal usul tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak, tidak diketahui lagi secara pasti, karena selain tidak ada ditemukan
literatur tentang sejarah asal-usul adanya tradisi ini, tokoh-tokoh pemuka
masyarakat dan masyarakat Tandikek juga tidak mengetahui lagi tentang sejarah
asal-usul tradisi tersebut. Sangat sedikit sekali informasi yang bisa diperoleh
mengenai sejarah asal-usul manjanguak ini
di Nagari Tandikek menurut Bagindo Sutan[44]
Katiko islam alun masuak ka tandikek ko lai a, nan Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak ko lah ado juo
sajak dahulu e, sajak jaman inyiak-inyiak wak dulu. Manjanguak Masak
dari pihak bako namoe nan datang dari anggota keluarga yang maningga, nan
Manjanguak Mantah ko mode awak-awak ko
a, mode ughang-ughang kabanyakan.
(Ketika agama Islam
belum masuk ke Tandikek, Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak sudah
ada sejak dahulu, sejak zaman nenek moyang kita dahulu. Manjanguak Masak adalah orang yang datang dari pihak bako keluarga yang meninggal, kalau yang
Manjanguak Mantah ini seperti orang kebanyakan yang
kenal dengan keluarga duka).
Hal tersebut juga dinyatakan
oleh Baruah[45]
….. Sajak dahulu nan manjanguak mantah dan masak ko lah ado juo, walau awak
lah ditingga mati, nan hubungan awak jo keluarga maningga ko ndak putuih tatauk
salamonyo, mangkonyo awak mambawo sesuatu ka rumah urang yang maningga tu
katiko manduo kali tujuah kalo ndak ma ampek puluah hari, soal e ughang banyak
nan tibo…a nan bako dari keluarga maningga ko manjanguak masak ko.
(….Sejak dahulu yang
namanya Manjanguak Mantah dan masak ini sudah ada, walaupun kita sudah
ditinggal mati, namun hubungan kita dengan keluarga yang meninggal tidak putus.
Maka dari itu kita membawa sesuatu ke rumah duka. Upacara ini dilakukan ketika
empat belas hari setelah kematian, semua warga diundang, termasuk pihak bako (Manjanguak Masak).
Dari penjelasan
informan di atas, tidak dapat diketahui secara jelas bagaimana sejarah
asal-usul tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak Masak. Hal yang bisa diketahui
dari pernyataan Bagindo Sutan dan Baruah tersebut adalah Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak merupakan peninggalan nenek moyang orang Tandikek.
Pernyataan informan di atas
menunjukkan bahwa meskipun seseorang
telah meninggal, hubungan antara keluarga almarhum dengan pihak bako tidak terputus. Oleh sebab itu,
pihak bako membawa sesuatu ke rumah
duka saat manjanguak. Menurut
Nottingham bahwa kepercayaan terhadap kematian dan kehidupan akhirat tentu
tidak menghapuskan peristiwa kematian itu namun ia dapat membantu orang
menghadapinya dan melayani masyarakat mereka dengan lebih baik ketika sedang
menghadapi kematian.[46]Begitu
juga masyarakat Tandikek, hubungan mereka tidak putus dengan keluarga yang
ditinggalkan, namun pada saat kematian
waktu yang tepat untuk saling membantu satu sama lain.
BAB
III
MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAK MASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK
Pada masyarakat Nagari
Tandikek, adat istiadat yang mengatur pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak merupakan kompleksitas ide-ide, nilai-nilai dan norma-norma yang ada
dan berlaku pada masyarakat Nagari Tandikek yang diperoleh dari pengetahuan
masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ini bersifat abstrak, tidak
dapat dilihat maupun diraba melainkan berada diantara individu dalam masyarakat. Pada proses
pelaksanaan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan tingkah laku
masyarakat yang merupakan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan
adat dan tata kelakuan. Itulah yang dapat diamati, sebagai perwujudan dari
pengetahuan masyarakat tersebut.
A.
Proses
Pelaksanaan Tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak Masak
Pada bulan Juli tahun 2010
peneliti sudah mulai melakukan observasi
tentang tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak Masak di Nagari Tandikek Jorong Galoro dan Paramantalang. Keberadaan
peneliti diketahui oleh masyarakat yang melakukan tradisi ini. Peneliti ikut
dalam aktivitas yang dilakukan di rumah duka. Tradisi ini merupakan bentuk
ungkapan rasa berkabung yang dilakukan oleh individu-individu yang datang ke
rumah duka dengan membawa bakul yang berisi telur 10 sampai 20 butir, beras
ketan, dan ayam kampung. Semua itu dibawa oleh warga setempat untuk melakukan Manjanguak Mantah ke rumah duka, yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak keluarga duka. Di sisi lainnya
pihak bako dari keluarga duka datang yang
disebut dengan Manjanguak Masak,
yakni membawa lemang, nasi bajamba, serta lengka dengan lauk
pauknya.
1. Waktu Pelaksanaan
Dalam
rentetan upacara kematian ada yang dinamakan manamaik hari (1 hari), manigo
hari, manujuah hari. Selama 7
hari setelah kematian ini orang yang datang manjanguak
tidak dibolehkan makan dan minum di
rumah duka. Hal ini dianggap akan memberatkan keluarga duka dan Islam juga
menganjurkan tidak boleh makan ataupun minum di rumah duka.[47]
Untuk tidak melanggar ajaran agama, masyarakat mengantisipasi dengan
menyediakan makanan dan minuman untuk keluarga duka maupun untuk orang-orang yang datang manjanguak oleh tetangga dari keluarga duka tersebut, walaupun
bahan-bahannya tetap dari keluarga duka. Hal ini menunjukkan tolong menolong
antar tetangga di waktu duka.[48]
Pelaksanaan Manjanguak Masak dan Manjanguak Mantah dilakukan pada saat manduo kali tujuah (14 hari setelah
kematian) di rumah duka. Pada waktu itu menurut anggapan warga setempat waktu
yang baik untuk melakukan manjanguak,
kerena suasana di rumah duka tidak lagi larut dalam kesedihan mendalam atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarganya.[49]
Oleh karena itu tidak menjadi masalah dengan melakukan upacara yang diikuti
dengan makan dan minum bersama. Tiga hari sebelum melakukan upacara tersebut,
keluarga duka mengundang seluruh warga masyarakat nagari secara lisan atau melalui telepon
kepada ipar, besan, serta bako agar untuk datang pada
waktu yang telah ditentukan. Ini berarti keluarga yang kemalangan tidak lagi
merasa sedih yang berlebihan, berbeda dengan suasana ketika tiga hari atau
tujuh hari setelah kematian. Berikut dinyatakan oleh Lambuak[50]
(orang yang melakukan upacara kematian) yang juga dibenarkan oleh Kartini.[51]
“biaso e
manjanguak mantah dan masak kodiadoan katiko manduo kali tujuah. Mangko hari ko
diadoan ughang atau kelurga nan ditinggaan ko ndak baibo hati na lai doh ndak
sedih na lai doh…kalo sabaalun e yo alun bisa malapeh an ughang nan pai dari
rumah tu lai doh, nan maningga tu.”
(“Biasanya orang mengadakan manjanguak masak dan mantah
ketika empat belas hari. Hari ini dipilih karena keluarga yang ditinggalkan
tidak lagi bersedih. Pada waktu tiga hari dan tujuh hari kematian mereka masih
berhiba hati, mereka belum bisa menerima kenyataan.”)
Hingga kini waktu yang dianggap
baik untuk melaksanakan Manjanguak Mantah
dan Manjanguak Masak adalah empat
belas hari setelah jenazah dikuburkan. Pada saat itu memungkinkan untuk melakukan
makan bersama di rumah duka. Walaupun begitu, akhir-akhir ini waktu yang dianggap
baik untuk melakukan tradisi Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak tidak
selalu tepat pada hari ke-14 hari setelah kematian, melainkan memilih waktu di
sekitar hari ke-14, misalnya hari ke-12 ataupun hari ke-16 setelah kematian.[52]
Pemilihan hari atau waktu ini sekarang
dihubungkan dengan hari libur kerja. Hal ini dilakukan, karena sebagian
masyarakat dan terutama jika kerabat pihak yang kemalangan tersebut banyak yang
bekerja di luar Nagari Tandikek. Jika
diadakan pada hari libur kerja, mereka berpeluang untuk hadir dalam upacara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak tersebut. Seperti yang
diungkap oleh oleh Syahrial Yazid dan dibenarkan oleh Gadih berikut ini.[53]
“…mangaji kamatian ko, ndak harus tapek
wakatu doh, paliang beda dua hari dari hari nan tapeknyo, kalau lah salasai
dirundiangan dek mamak, baru diadoan mangaji dek keluarga yang maningga koh
atau dek anak-anak-anak yang telah bekeluarga”
(“…upacara kematian ini tidak harus
tepat waktu diadakan, kadang-kadang beda 2 hari dari waktu yang telah ditentukan,
setelah selesai dirundingkan oleh mamak,
baru diadakan upacara tersebut oleh keluarga atau anak-anak yang telah berumah
tangga...”)
Dari kutipan di atas, terungkap bahwa akhir-akhir
ini telah terjadi pergeseran waktu dalam melakukan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak. Kini tradisi itu tidak
harus tepat di hari yang ke-14, melainkan bisa dilaksanakan pada satu hari yang
dipilih disekitar hari ke-14, dua hari sebelum dan sesudahnya. Tujuannya tidak
lain agar sebagian besar anggota keluarga (orang se-suku, bako, dan besan) maupun masyarakat di nagari bisa hadir. Hal ini
disebabkan karena telah mulai beragamnya pekerjaan, sehingga berdampak terhadap
pelaksanaan tradisi tersebut dalam masyarakat setempat.
2. Tempat Pelaksanaan
Manjanguak Masak
dan Mantah ini dilakukan di rumah
duka. Sebelum mengundang orang yang pergi Manjanguak
Masak dan Mantah keluarga duka
terlebih dahulu menentukan tempat pelaksanaan upacara 14 hari almarhum/ almarhumah.
Semua anggota keluarga berkumpul untuk menentukan hari yang tepat. Sebagai
contoh yang terjadi pada keluarga almarhumah Angah Sunan, semua anak-anaknya
berkumpul di rumah duka untuk menentukan
di rumah anak yang manakah upacara 14 hari orang tua mereka diadakan. Apakah di
rumah anak pertama, kedua, ataupun ketiga, karena mereka memiliki rumah
masing-masing dan semuanya sanggup untuk melakukan upacara tersebut. Tempat
upacara lazimnya dilakukan di rumah anak perempuan, tetapi tidak tertutup pula kemungkinan
dilakukan di rumah anak laki-laki. Ini disebabkan karena anak perempuan
merupakan penerus garis keturunan matrilineal dari almarhum jika yang meninggal
dunia adalah ibu, sedangkan jika yang meninggal dunia adalah bapak maka
pelaksanaan manjanguak masak dan manjanguak mantah bisa dilakukan di
rumah anak perempuan maupun anak laki-laki.[54]
Dari penelitian yang dilakukan ternyata pelaksanaan upacara ini bisa saja
dilakukan di beberapa rumah dari anak orang yang meninggal dunia, baik anak laki-laki
maupun perempuan. Oleh karena itu upacara manjanguak
mantah dan manjanguak masak bisa
saja dilakukan 2 sampai 3 kali terhadap seorang yang meninggal dunia dalam selang
waktu 5 hari atau 10 hari setelah hari ke-14, seperti yang diungkapkan Rakibah:[55]
“…Mangaji
kamatian sabalunyo labiah dulu ditantuan tampeknyo dima e lu, diadakan
barundiang e lu, oleh keluarga yang ditingga. Sudah tu baru diadoan mangaji e
lai.. e nan mangaji ko bisa sajo 2-3 kali gai dek anak-anak yang maningga ko,
tagantuang mampu tau indak enyo maadoan mangaji koh…”
(“…upacara kematian sebelumnya terlebih
dahulu ditentukan dimana tempatnya pelaksanaanya, dilakukan perundingan terlebih dahulu oleh kelurga duka, setelah
itu dilakukan upacara 14 hari. Upacara ini biasanya 2-3 kali diadakan oleh
anak-anak dari orang yang meninggal, tergantung sanggup atau tidaknya mereka melaksanakan…”)
Berdasarakan
data dari informan terlihat bahwa sebelum melakukan upacara kematian telebih
dahulu dirundingkan untuk menentukan dimana tempat pelaksanaannya, apakah itu
dilakukan di rumah masing-masing anak dari almarhum atau di “rumah gadang” (
rumah orang tua) saja. Lazimnya upacara ini dilakukan di rumah anak perempuan,
tetapi tidak tertutup kemungkinan dilakukan di rumah anak laki-laki.
3.
Perlengkapan
yang Dibawa ke Rumah Duka
Perlengkapan yang dibawa oleh orang yang datang Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak diyakini masyarakat
sebagai ungkapan rasa berkabung dan membantu pihak yang tertimpa musibah
kematian. Adapun perlengkapan yang dimaksud sebagai berikut :
a. Ayam
Kampung, Beras dan Telur (dibawa oleh orang yang Manjanguak Mantah)
Ayam kampung,
beras, dan telur dimasukkan ke dalam bakul yang dibungkus dengan kain warna
putih. Warna putih sebagai simbol kebersihan, dan kesucian, jadi orang yang
membawa perlengkapan itu dalam keadaan hati yang bersih, dan sebagai tanda
penghormatan terhadap keluarga duka yang mendapatkan musibah.[56]
Selanjutnya bakul yang
berisi ayam kampung, telur dan beras ketan tersebut dibawa ke rumah duka.
Setelah tiba di rumah duka, bawaan tersebut dimasak di rumah duka. Orang yang
datang Manjanguak Mantah lebih cepat
datang ke rumah duka, karena perlengkapan yang dibawa tersebut akan dimasak di
rumah duka.[57] Tidak
semua perlengkapan itu dimasak di rumah
duka, sebab tuan rumah terlebih dahulu harus memperkirakan berapa banyak tamu
yang datang. Oleh sebab itu jika barang bawaan orang yang datang banyak
jumlahnya dan berlebih dari kebutuhan upacara, maka barang-barang tersebut bisa
dijual oleh keluarga duka.[58]
Perlengkapan yang dibawa ketika Manjanguak Mantah merupakan perlengkapan yang mudah ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari, baik itu di warung-warung, ataupun di pasar karena
perlengkapan tersebut merupakan kebutuhan sehari-hari.[59]Perlengkapan seperti ayam sebagai symbol dari orang
yang meninggal. Kalau orang yang meninggal adalah laki-laki maka ayam yang
dibawa adalah ayam kampung yang betina, sedangkan yang meninggal dunia dalah
perempuan maka ayam yang dibawa ke rumah duka adalah ayam betina.[60]Ayam dianggap sebagai symbol bagi orang yang meninggal
dunia laki-laki atau perempuan. Perlengkapan yaitu beras merupakan symbol kemakmuran bagi
masyarakat, karena beras merupakan
makanan pokok, sedangkan beras ketan yang nantinya digunakan untuk bahan pembuat
lemang. Lemang tersebut diumpamakan
batang tubuh dari orang yang meninggal.[61]
b.
Makanan dan lauk pauk (dibawa oleh bako/Manjanguak Masak)
Makanan dan lauk pauk[62]
yang telah dimasak yang dibawa oleh bako
ke rumah duka dimaksudkan untuk menjadi makanan pada saat makan bersama dengan Urang Siak. Makanan dan lauk pauk yang
telah dimasak itu porsinya lebih banyak yang dibawa oleh pihak bako lengkap dengan Induak Samba.[63]
Makanan yang dimasak sebagai simbol bahwa pihak bako mempunyai hubungan dekat dengan keluarga duka. Selain itu
memperlihatkan kepada semua tamu yang datang bahwa bako pandai memasak. Oleh karena itu pada saat dilakukan makan
bersama diharapkan banyak mendapatkan pujian dari tamu lain yang datang
terhadap makanan yang dihidangkan tersebut. Bako akan merasa tersanjung apabila masakan yang
dibawa ke rumah duka mendapatkan pujian oleh orang mencicipi masakan tersebut.
c. Lemang
Lemang adalah sejenis makanan yang terbuat dari beras
ketan dan santan kelapa, dibungkus dengan daun pisang yang dimasukkan ke dalam
bambu kemudian dibakar. Lemang ini tidak hanya dibuat oleh keluarga duka,
tetapi juga dibawa oleh orang yang Manjanguak
Masak. Lemang yang dibuat oleh keluarga duka berjumlah sekitar 150 sampai 200
batang yang nantinya akan dibagi-bagikan terhadap tamu yang datang, sedangkan
bagi orang yang datang Manjanguak Masak (pihak
bako) cukup membawa 5 sampai 10 batang lemang sebagai pelengkap makanan
siap saji dari pihak bako. Lemang
dalam upacara ini merupakan sebagai simbol dari kematian, dan dimaknai sebagai
tongkat untuk membantu almarhum/almarhumah berjalan menuju ke sorga.[64]
4. Pelaksanaan Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
a.
Persiapan
Sebelum Pergi ke Rumah Duka
Beberapa hari sebelum acara, warga masyarakat
menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa ke rumah duka. Ada yang membawa 10
sampai 15 butir telur ayam, satu ekor ayam kampung, beras ketan tiga liter,
beras picarai[65]
tiga sampai empat liter. Segera sebelum berangkat benda-benda tersebut dimasukkan
ke dalam bakul, kemudian dibungkus dengan kain putih. Semua bawaan itu dibawa oleh orang yang melakukan Manjanguak Mantah ke rumah duka. Untuk Manjanguak Masak dilakukan oleh bako. Bako membawa sesajian yang telah dimasak seperti nasi, lauk pauk,
dan nongkopi.[66]
Untuk mendapatkan semua perlengkapan
itu, ada warga yang memiliki persediaan
di rumah masing-masing. Sementara bagi
mereka yang tidak memiliki persediaan terpaksa meminjam ataupun membelinya. Mereka
yang miskin secara ekonomi, biasanya meminjam beras atau uang kepada tetangga.
Bagi warga setempat yang penting harus membawa perlengkapan yang lazim diberikan
kepada keluarga duka. Seperti diungkapkan oleh Mariani[67]
sebagai berikut:
Dalam saminggu ko a, uniang lah tigo kali pai
manjanguak mantah ka umah ughang kamatian, paniang lo uniang dibuwek e kapatang
tu, tu tapaso maminjam bagheh lai ka umah sabalah, kalau ndak pai wak sagan lo,
apolo kecek ughang beko.
(Dalam satu
minggu ini, sudah tiga kali uniang pergi manjanguak
mantah ke rumah kematian, waktu tu sempat pusing kepala uniang, karena tidak
ada lagi persediaan yang dimiliki, terpaksa
meminjam beras ke tetangga sebelah, kalau tidak pergi ke rumah orang
kematian itu, apa kata orang nanti.)
Demikian
juga diungkapkan oleh Zuriati[68]
yang sehari-sehari dipanggil One Zuriati[69]
yang melakukan Manjanguak Masak ke
rumah Mintuo.
“…Wakatu one manjanguak masak nan kapatang tu,
untuak mambali nan kadimasak tu, one yo bautang dibalai, di tampek langganan
biaso e. Pitih yang ditangan ndak do doh, urang alun lo panjek kambie lai…”
(… waktu
manjanguak masak kemaren, untuk membeli perlengkapan yang akan dibawa, saya
melakukan pinjaman di pasar, di tempat langganan biasanya. Uang ada di tangan
tidak ada, kelapa yang akan dijual belum waktunya untuk panen…)
Berdasarkan
hasil wawancara di atas, terlihat untuk
pergi Manjanguak Mantah ada warga meminjam
kepada tetangga. Pinjaman tersebut berupa beras kepada tetangga dan bahkan ada berhutang
beras di warung di pasar, kerena persediaan dana yang tidak mencukupi. Di
samping itu masyarakat tidak saja melakukan pinjaman bahan makanan untuk Manjaguak Masak, tetapi juga melakukan peminjaman
atau penyewaan emas untuk dipakai ke
rumah duka. Itu semua bertujuan untuk memperlihatkan kepada keluarga duka,
kalau mereka merupakan keluarga yang berada
atau mampu. Seperti kutipan wawancara peneliti dengan Mardianto.[70]
Peneliti : manga ibuk tadi tu nto………..?
(ada
apa dengan ibuk tadi nto…….?)
Anto : oooohh………..ibuk tu, nyo maminjam
ameh mah…(peneliti terkejut dan heran mendengar ucapan dari pemilik toko
tersebut) iyo biaso e banyak juo urang yang meminjam ameh ka siko nyoh untuak
dipakai pai baralek jo kematian. Tapi ibuk nan tadi keceknyo untuak pai
manjaguak masak di tampek kematian.
(ohhh….ibuktu, dia meminjam emas…(peneliti
terkejut dan heran mendengar ucapan dari pemilik toko tersebut) biasanya banyak
orang yang datang kesini untuk meminjam emas untuk dipakai ke pesta perkawinan, kematian).
Peneliti : oohh……….baa lo caghoe tu……?
(oohh……….
Bagimana pula caranya tu….?
Anto :
banyak macam jaminan e bisa STNK dan surek umah gai…..biaya paminjaman e tagantuang bara hari nyo jo bara banyak ameh yang
nyo mintak, kalau ibuk yang tadi nyo minjam salamo 2 hari harago e Rp. 200.000
(dua ratus ribu) amehnyo sebesar 5 (lima emas).
(banyak
macam, jaminanya bisa STNK dan kadang surat rumah….biaya peminjamnya tergantung
berapa banyak emas yang mereka pinjam, kalau ibuk tadi dia meminjam emas
sebesar lima emas selama dua hari dengan
harga Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah).
Peneliti : ooo……mode
tu yo..? lai banyak ughang pai meminjam ameh untuak pai ka tampek kematian ka
toko anto ko….?
(oooo….seperti itu..?apakah sering orang
meminjam emas untuk pergi ke tempat kematian nto…?)
Anto : Kadang ndak manantu doh……..
Peneliti : oo..makasih yo nto……
(oo.. terima kasih yo nto…..)
Peminjaman
emas yang dilakukan pada waktu pesta perkawinan, tetapi juga dalam upacara
kematian. Emas pinjaman yang dipakai terlihat bahwa dipakai disetiap keramaian,
baik itu pesta perkawinan ataupun upacara kematian. Semua
itu mereka lakukan untuk menghindari
rasa malu terhadap keluarga duka atau sindiran dari orang-orang yang
berada di rumah kematian tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Sarinam.[71]
“Kalo ndak mambawo pambawoan[72] ko,
malunyo koh yang ndak tahan a, beko nyo otaan awak beko tu mah, kalo ndak nyo
sindie-sindie awak di tampek kamatian tu dek urang yang ado disinan . Soal e
ambo pernah di modean tu dek urang, wakatu pai manjanguak”
(”kalau
tidak membawa pembawaan itu, malunya ini yang tidak tertahankan, nanti kita
dibicarakan, atau mereka berikan sindiran kepada kita. Saya pernah mengalami
seperti itu”)
Hal senada juga
diungkapkan oleh Jaruni[73]
“Wakatu datangnyo gampo di kampuang awak ko,
ambo pai manjanguak ka umah ughang acok ba utang sajonyoh dari bareh, talua,
ayam. Soal e kalau ndak mambaok, malu ambo dek ughang yang ado di umah duka tu
beko dikecek-kecekan ambo ko pilik dek ughang”
(Waktu
gempa melanda kampung kita, saya pergi menjenguk
ke rumah orang kematian , untuk mendapatkan perlengkapan yang akan dibawa, saya
sering berhutang. Seperti berhutang untuk membeli beras, telur, dan ayam. Sebab
kalau tidak membawa, malu saya sama orang yang ada di rumah duka itu, nanti saya
dikataka pelit.)
Berdasarkan penuturan di atas terlihat begitu pentingnya
pembawaan yang dibawa ke rumah duka, untuk menghindari perkataan-perkataan yang
menyindir yang tidak enak didengar, seperti
bisa saja dikatakan pelit. Pada dasarnya jumlah barang bawaan tidak ditentukan,
namun karena merasa segan terhadap keluarga duka, ataupun orang yang berada di
rumah kematian, maka pembawaan untuk manjanguak
diusahakan seada mungkin. Begitu juga dengan peminjaman emas, dengan tujuan
memperlihatkan kepada keluarga duka dan tamu yang datang kalau mereka mampu dan
orang yang berada di tengah-tengah masyarakat.[74]
Makna pembawaan pada waktu manjanguak merupakan sebagai bentuk kepedulian
terhadap keluarga duka seperti yang diungkapkan Datuak Palembang Basa,[75]
“bajalan babuah batih, malenggang babuah
tangan (berjalan berbuah betis, melenggang berbuah tangan). Tegasnya orang yang
manjanguak tersebut akan merasa malu
apabila datang dengan tangan kosong. Seperti penuturan Sarinam[76]
berikut ini:
“Pambawoan ko yo
harus, ndak bisa ndak doh, ba a k caronyo lah, kok ndak do punyo, tu tapasaso
dipinjam lai, ka umah sabalah.biasaonyo apo yang dipinjam tu, itu lo yang
dbaliak an baliak. Kalo maminjam bareh dibaliak an lo bareh baliak.Iko ko
dilakuan supayo awak ndak malu dek urang, ndak mungkin pai malenggang e ka
rumah urang doh.”
(“Pembawaan ini harus ada, tidak bisa tidak,
termasuk berhutang kepada orang lain
atau kepada tetangga. Biasanya apa yang dipinjam itu yang dikembalikan lagi,
misalnya pinjam beras ya harus diganti dengan beras. Ini dilakukan supaya kita
tidak malu sama orang yang berada di rumah duka, tidak mungkin pergi ke rumah duka
tidak membawa apa-apa.)
\
Setelah
perlengkapan yang akan dibawa ke rumah duka disediakan, maka pihak bakopun melakukan persiapan. Adapun
persiapan-persiapan yang dilakukan pihak bako
yang pergi Manjanguak Masak; Pertama memanggil orang-orang yang akan diajak untuk pergi Manjanguak Masak dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing.
Kedua, mempersiapkan makanan yang akan dibawa pada saat Manjanguak Masak di rumah masing-masing. Makanan yang dibawa adalah lemang,
yang biasanya dibuat 1 (satu) hari sebelum acara Manjanguak Masak. Demikian juga dengan kue-kue kering, sudah dibuat
beberapa hari sebelum pergi Manjanguak
Masak. Sementara lauk pauk, nasi, kue backing
serta masakan lainnya dibuat di rumah pihak bako dan lazimnya dimasak pagi sampai siang hari segera sebelum pelaksanaan upacara Manjanguak Masak seperti yang diungkapkan oleh Janulis.[77]
“…kalau
samba-samba goreang, lamang dimasak sahari sabalunnyo, samba-samba nan
basantan, nasi dimasak dari pagi sampai tangah
hari…”
(“…Kalau lauk pauk goreng, lemang dimasak
satu hari sebelumnya, lauk pauk yang memakai santan dan nasi dimasak dari pagi
sampai siang hari…”)
Hal yang sama juga dibenarkan oleh Sine[78]
“…masakan-masakan jo makanan-makanan nan dibaok
wakatu manajnguak masak tu dimasak atau disiapkan wakatu pagi hari manjanguak
tu, soale sebagian besar manakan ko jo masakan tu capek hasan dan indak bisa
bamalam doh…”
(…masakan-masakan
dan makanan-makanan yang dibawa waktu manjanguak masak tersebut dimasak atau
disiapkan pada pagi hari manjanguak tersebut, karena sebagian besar makanan dan
masakan tersebut cepat basi dan tidak bisa untuk bermalam…)
Oleh
sebab itu Manjanguak Masak ini
biasanya diadakan pada sore hari, yaitu setelah shalat zuhur atau menjelang
shalat Ashar sekitar pukul 15.00 WIB. Selain alasan tersebut, keberangkatan Manjanguak Masak jika dilakukan pada pagi hari atau siang hari
cuacanya panas, sedangkan bawaan yang harus dibawa cukup berat, dan orang yang
berada di rumah duka belum selesai memasak seperti yang diungkap oleh Sine.
“…kalau Manjanguak Masak tu diadokan wakatu pagi
atau tangah hari, biasonyo hari angek, latiah wak dibuwek e nyoh soal e bawaan
nan di baok tu barek, nan di rumah
kamatian tu urang-urang tu sadang masak-masak lo kini tu mah…”
(… kalau Manjanguak Masak tersebut diadakan pada
pagi hari atau siang hari, biasanya cuaca panas, akan melelahkan karena bawaan
yang dibawa tersebut berat, lagian orang yang berada di rumah kematian sedang
memasak pula…)
Ketiga, setelah semua makanan dan masakan yang
akan dibawa telah selesai dimasak, dilanjutkan dengan memasukan makanan dan
masakan tersebut ke dalam dulang dan talam. Keempat,
persiapan untuk berangkat ke rumah duka, yaitu seluruh orang yang dipanggil seperti
ipar, besan dan tetangga dekat untuk pergi Manjanguak
Masak telah datang, dan seluruh
pembawaan telah siap untuk dibawa, atau setelah semuanya siap, barulah
rombongan tersebut berangkat menuju rumah duka.
Untuk
masakan dan makanan yang dibawa pada waktu Manjanguak
Masak, seluruhnya ditanggung oleh orang yang Manjanguak Masak yaitu bako.
Dengan kata lain, seluruh biaya dan bahan baku yang diperlukan untuk Manjanguak Masak termasuk ongkos mobil
atau ojek untuk membawa rombongan Manjanguak
tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan bako
dari keluarga yang meninggal, yang dapat menghabiskan biaya sekitar Rp. 1.500.000,-
sampai dengan Rp. 2.000.000,-. Diperoleh
informasi bahwa untuk memenuhi keperluan biaya Manjanguak Masak ada orang melakukan pinjaman kepada temannya atau
berhutang kepada penjual sembako di pasar.[79]
b.
Berangkat
ke Rumah Duka
Tahap
pelaksanaan Manjanguak Mantah, masyarakat datang ke rumah duka
dengan membawa perlengkapan. Setelah sampai di rumah duka, barang bawaan
diserahkan kepada keluarga duka. Proses Manjanguak
Masak yang dilakukan oleh bako dilihat dari barang bawaannya lebih
banyak. Jika pihak bako dari keluarga
penghulu, maka jumlah dulang yang
dibawa sebanyak 7 (tujuh) buah dengan 5 (lima) buah talam, sedangkan jika pihak bako bukan berasal dari penghulu,
jumlah dulang yang dibawa adalah 5 (lima) buah dengan 3 (tiga) buah talam.
Adapun
maksud dibedakan jumlah dulang dan talam tersebut adalah untuk membedakan ninik
mamak dan anak kemenakan sesuai dengan ungkapan “untuak mambedaan antaro sawah jo pamatang.” Artinya adalah untuk
membedakan antara antara mamak dengan kemenakan. Hal ini terungkap dari
perrnyataan Datuak Palembang Basa.[80]
“…sababnyo mako dibedaan jumlah dulang jo talam nan
dibaok untuak membedakan antaro niniak mama jo anak kamanakannyo, istilah e
untuak mambedaan antaro sawah jo pamatang, kan ndak mungkin samo tinggi doh
antaro sawah jo pamatang…”
“…sebabnya maka
dibedakan jumlah dulang dengan talam yang dibawa untuk membedakan antara ninik
mamak dengan anak kemenakan, istilahnya untuk membedakan antara sawah dengan
pematang, kan tidak mungkin sama tinggi antara sawah dengan pematang…”
Adapun
isi dulang tersebut adalah nasi jamba,
lauk pauk, masing-masing lauk pauk diletakkan di dalam cambuang dan disusun rapi dalam dulang.
Dulang ini terbuat dari bahan logam
kuningan. Dulang-dulang ditutup
dengan tudung air.[81]
Sedangkan talam berisi kue-kue dan makanan tradisional yang dibuat sendiri oleh
keluarga dan kerabatnya, dan tidak boleh dibeli. Jika tidak dibuat sendiri oleh
kerabat, maka akan menjadi gunjingan bagi pihak keluarga atau orang yang berada
di rumah duka, bahwa keluarga dari kerabat bako tidak ada yang bisa membuat kue
dan makanan tradisional.[82]
Setelah
semua persiapan Manjanguak Masak selesai, dan orang-orang yang
dipanggil untuk pergi Manjanguak Masak telah hadir semua, maka seluruh rombongan
mulai berangkat menuju ke rumah duka. Pada masa dahulu, rombongan berangkat ke
rumah duka dengan berjalan kaki. Sejauh apapun jarak rumah duka yang dituju
harus ditempuh dengan berjalan kaki.[83]
Pada
masa sekarang, hal tersebut sudah berubah, apabila jarak ke rumah yang dituju cukup
jauh, maka mereka berangkat dengan menggunakan kendaraan. Biasanya kendaraan
yang dipilih adalah kendaraan yang bisa mengangkut rombongan dalam jumlah yang
banyak. Biasanya kendaraan lazim untuk mengangkut rombongan adalah mobil bak
terbuka, yang mereka kenal dengan oto kompong.[84]
Di rumah duka rombongan Manjanguak Masak ini dinanti oleh kaum kerabat pihak
duka. Orang-orang yang menanti rombongan Manjanguak
Masak ini adalah keluarga dekat,
kerabat dan tetangga yang semuanya juga perempuan. Seluruh pembawaan Manjanguak Masak tersebut diserahkan oleh rombongan kepada pihak keluarga duka,
lalu bawaan itu dihidangkan untuk dimakan bersama.
c. Berdoa
Berdoa
adalah aktivitas yang sangat sakral. Berdoa merupakan permohonan kepada Tuhan
agar almarhum diterima di sisiNya dan keluarga yang ditinggalkan diberi
kesabaran. Biasanya doa diiringi oleh
gerak-gerik dan sikap-sikap menghormati dan merendahkan diri kepada tuhan.[85]
Seperti menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, meanggukkan kepala ke atas
dan ke bawah.
Setelah mengutarakan maksud dan tujuan yang dilakukan
oleh tuan rumah, maka Urang Siak
mulai memimpin doa dengan membakar kemenyan putih yang disediakan oleh keluarga
duka. Kemenyan warna putih dianggap suci dan bersih, serta aroma yang dihasilkanya lebih wangi dan
tajam yang dikatakan oleh Cimuih.[86]
Kumanyan yang
digunakan biasonyo kumanyan warna putiah, kumanyan warna putiah ko, wanginyo
labiah manyangek dari pado kumanyan yang warna kuniang, kumanyan warna putiah
ko barasiahlo bantuak e. Jadi awak awak mandoa dalam hati barasiah lo hendaknyo
(Kemenyan yang digunakan biasanya berwarna putih,
karna kemenyan warna putih wanginya lebih menyengat dari pada kemenyan warna
kuning. Kemenyan warna putih bentuknya bersih, jadi kalau kita melakukan berdoa
dalam hati yang bersih pula hendaknya.)
Kegiatan ini dipimpin oleh Urang Siak setelah kemenyan dibakar, lalu membaca basmalah, membaca ayat-ayat Al-Quran,
doa-doa, tahmid, dan tasbih. Berdoa dilakukan di awal kegiatan, yaitu setelah
semua orang hadir di rumah duka, dan duduk pada tempat yang telah disediakan.
Makna dari berdoa adalah hidup dan mati kita di tangan Tuhan. Untuk itu
kepada-Nya lah kita meminta. Segala sesuatu yang diinginkan. diminta semua
terkabul. Tujuan berdoa untuk orang meninggal adalah supaya terlepas dari azab
kubur seperti yang dikatakan oleh Lidar.[87]
“…Mandoa kamatian tantu mamohon ka tuhan ditujukan ka urang yang maningga supaya
lapang dan ndak tasisonyo dalam kubue doh, dan amalan-amalan salamoko ditarimo
lah hendaknyo…”
(“…Berdoa,
merupakan minta kepada tuhan supaya orang yang
meninggal dilapangkan dalam kubur serta terhindar dari azab kubur, serta
amalan-amalan diterima di sisi Allah SWT…”)
Hal senada juga dikatakan oleh
Basyirudin Fajal[88]
“… tujuan mandoa ko yo mamohon ka tuhan, supaya
dilapangan di dalam kubue. Nan angek paralu didinginkan, nan biso paralu
ditawakan, nan sampik paralu dilapangan dan untuak manmbah darajaiknyo.Baiu
pulo urang yang maningga ko nan sampik paralu dilapangan dengan meminta kapado
tuhan…”
(“…tujuan berdoa
ini memohon kepada tuhan, suapaya dilapangkan di dalam kubur. Yang panas perlu
didinginkan, yang bisa perlu ditawarkan, yang sempit perlu dilapangkan dan
untuk menambah derajatnya. Begitu juga terhadap orang meninggal ini kalau
sempit ya dilapangkan dengan meminta kepada tuhan…”)
Berdasarkan
penuturan di atas bahwa berdoa ditujukan kepada Allah SWT, supaya almarhum tenang
di dalam kubur dan keluarga yang ditinggalkan bersabar. Setelah itu dilanjutkan
berzikir dengan dengan mengucapkan Lailahailallah, menggelengkan kepala ke kiri
dan ke kanan, kemudian mengucapkan nama Allah dengan mengerakkan kepala ke atas
dan ke bawah.
d. Makan
Bersama
Acara
dilanjutkan dengan makan bersama beserta Urang
Siak. Semua masakan dan makanan yang dihidangkan seluruhnya adalah bawaan
keluarga dari bako. Pada waktu
dahulu, pihak kelurga duka tidak menyiapkan masakan dan makanan apapun.
Keluarga duka hanya menyediakan air minum, namun sekarang ini, pihak keluarga
duka juga menyiapkan hidangan lain, mengingat banyaknya kerabat dan undangan
yang hadir. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Minah[89]
“Sesudah badoa dilanjuikan dengan makan
basamo, biaso e makanan yang dihidangan disadioan dek bako, tapi kini dek
banyak e ughang nan tibo, keluarga nan mandapek musibah ikuik juo manyadioan
makanan dek banyak ughang nan dipanggia.”
(Sesudah berdoa dilanjutkan
dengan makan bersama, biasanya makanan yang dihidangkan disediakan oleh bako,
tetapi sekarang karena banyak orang yang datang, keluargayang mandapat musibah
ikut juga menyediakan makanan karena banyak orang yang diundang)
Hal-hal yang harus dilakukan pada
saat makan bersama: pertama tempat
duduk diatur sedemikian rupa, urang siak
harus didudukkan di kepala rumah/sudut ruangan dan bersandar ke dinding yang
dinaungi oleh tirai bakolam yang
diletakkan di loteng atap rumah pada posisi tempat duduk Urang Siak.Tirai dibedakan menjadi dua jenis yaitu tirai Bakolam[90] dan
tirai Bacancang. Tirai Bakolam sebagai naungan Ulama, Imam,
Kahtib dan Labai. Tirai ini digunakan
pada saat ritual kematian. Tirai Bacancang[91] sebagai
naungan niniak mamak dan hanya
digunakan pada saat mengadakan upacara perkawinan. Urang
Siak dianggap kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu
tempat duduknya ditinggikan dengan duduk di atas kasur. Seperti yang dikatakan
oleh Syamsuardi[92]
“Kasue gunonyo untuak duduaknyo urang siak, suapayo
agak tatingi duduaknyo dari pado urang yang bukan urang siak. Mangkonyo
ditinggian karano, posisi urang siak katiko mangaji kamatian tu, kedudukannya
lebih tinggi, lebih terhormat.”
(“Kasur
berfungsi untuk tempat duduknya Urang
Siak, supaya duduknya urang siak agak tinggi sedikit dari pada orang yang
bukan urang siak, ini ditiggikan karena posisi urang siak ketika mengaji
kematian tu kedudukannya lebih tinggi, lebih terhormat.)
Kedua orang yang hadir baik itu
undangan, orang Manjanguak Mantah maupun
Manjanguak Masak duduk bersila dan
bersimpuh menjaga tata tertib dan sopan santun. Adapun pantangan yang dihindari
pada saat makan bersama adalah: (a) makanan dan lauk pauk, harus tersusun rapi
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, (b) tidak dibenarkan Mancapak (berbunyi) pada waktu
mengunyah. Setelah acara ditutup dengan doa bersama, keluarga bako dan orang yang datang Manjanguak Mantah mohon diri kepada
keluarga duka untuk pulang.
e. Memberikan Lemang
Sebelum keluarga bako dan orang Manjanguak
Mantah pulang pihak keluarga duka menyerahkan lemang kepada masing-masing
orang dari pihak bako tersebut
sebanyak tiga sampai lima batang lemang, sedangkan bagi orang yang Manjanguak Mantah diberikan 2 batang
lemang. Untuk Urang Siak selain
diberi uang masing-masing Rp 30.000 (tiga puluh ribu rupiah)-Rp50.000 (lima
puluh ribu rupiah) sebagai tanda sedekah, juga diberikan 1 batang Lemang.
Maksud dibedakan jumlah pemberian Lemang dilihat
dari jumlah pembawaan yang dibawa seperti yang diungkapkan oleh Siroih[93]
Jumlah lamang nan diagiah kalo
untuak pihak bako 5-6 batang lamang,
karano pambawoan bako kan banyak loh tu hubungan awak dakek lo samo inyo,sadangkan
ughang Manjanguak Mantah cukuik 2 batang lamang jenyoh, kalo ughang siak cukuik
sebatang lamang loh nyo samo pitih sadakahnyo.
(Jumlah
lamang yang diberikan untuk pihak bako 5-6 batang lemang, karena pembawaan yang dibawakan lebih banyak, dan hubungan
dengan kita lebih dekat. Sedangkan orang yang datang Manjanguak Mantah cukup 2 batang Lemang saja, orang siak cukup satu
batang lemang dan uang sedekah saja.)
Bambu bekas
lemang yang dibawa pulang tidak boleh dibakar karena bambu bekas lemang dianggap
sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan, jika bambu tersebut dibakar nanti
kepanasan orang yang berada di dalam kubur, dan dan bambu lemang dianggap
sebagai tongkat penunjuk jalan ke surga seperti percakapan peneliti dengan
seorang yang bernama Zulbainar.[94]
Peneliti : oh yo Mak, manga mangko ndak buliah masuak an buluah lamang tu ka
tungku t mak..?
(oh
ya Mak, mengapa tidak boleh bambu lemang dimasukkan
ke tungku api Mak?)
Nenek : “dak buliah dibaka buluah tu doh, beko angek-angek urang yang ado dalam
kubue tu beko, sedangan awak berharap inyo sanang dalam kabue. Soal e wakatu k
mambuek lamang ko, ado lo doanyo. Babeda dengan dengan lamang dibuek katiko
indak mandapek kamatian atau lamang yang ado dijua di balai, buluah e buliah
dibaka tu. Buluah lamang tu sebagai tungkek deknyo diakhiraik untuak manunjuak
jalan ka sarugo …”
(bambu
itu tidak boleh dibakar, nanti kepanasan
orang yang berada dalam kuburan itu, sedangkan kita berharap dia senang dalam
kubur. Soalnya, ketika memasak lemang ini ada pula doa-doanya. Berbeda dengan
lemang yang dijual di pasar, kalau lemang yang dijual pasar ini boleh dibakar
bambunya, dan bambu bekas lemang itu sebagai tongkat penunjuk jalan ke surga ..)
Peneliti : oh…mantun mak yo, oh… yo mokasih lah mak.
(oh…begitu mak, terima kasih
mak.)
Nenek : ”ah yo..yow..,ndak makan goreang pisang gai lu…ambiaklah..
(oh
ya…sebelumnya tidak makan goreng pisang dahulu..ambil saja….)
Peneliti : “mokasih lah mak!”…
(“Terima kasih mak!)
Berdasarkan penuturan informan
di atas, penulis mengetahui bahwa bambu pembuat lamang mempunyai makna bagi masyarakat Tandikek. Suatu simbol tidak
akan mempunyai nilai atau kedudukan universal terbatas dalam sistem religi dan
komunitasnya.[95] Jadi
bambu lemang yang tidak boleh dibakar tidak akan mempunyai nilai dan kedudukan
religius apa-apa kalau lemang itu dibuat tidak dalam kaitan religi. Dia hanya
sebagai bahan makan biasa serupa dengan bahan makanan lainnya. Pada dasarnya
benda simbolis itu tidak mempunyai nilai intrinsik religius tersendiri kecuali
kalau berada di dalam sistem religi yang bersangkutan. begitu juga dengan
lemang yang dibuat ketika kematian, yaitu mempunyai nilai intrinsik religius
tersendiri, dan tidak mempunyai nilai apa-apa kalau lemang itu dibeli di pasar.
B. Makna Aktivitas dan Perlengkapan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
Berbagai aktivitas yang dilakukan
merupakan wujud dari kegiatan Manjanguak
Masak dan Manjanguak Mantah.
Aktivitas tersebut menjadi tradisi pada masyarakat Nagari Tandikek, karena
dipertahankan sejak dahulu. Geertz menggambarkan kebudayaan sebagai susunan
arti yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan mengekpresikan sikap.[96]Kebudayan
merupakan suaru pola makna yang ditafsirkan secara historis yang terwujud dalam
bentuk-bentuk simbolik, dimana melalui bentuk-bentuk tersebut manusia
berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang
kehidupan dan bersikap tentang kehidupan.[97]
Di dalam suatu kebudayaan terdapat
berbagai macam bentuk pengetahuan yang diteruskan, yang dibawa oleh sistem
budaya. Geertz menyatakan bahwa agama merupakan system budaya karena agama (1)
sebuah simbol yang berperan (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat,
pervasif dan tahan lama dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi
tatanan kehidupan umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu
aura faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi tersebut membuat orang
berbuat sesuatu dan juga ingin merasakan sesuatu.
Masyarakat pada umumnya senantiasa
mempertahankan budaya mereka melalui upaya-upaya tertentu agar tetap terjaga
kelestariannya dari masa ke masa, sehingga menjadi tradisi. Pelestarian budaya
melalui pelaksanaan upacara-upacara tertentu, salah satunya dalam upacara
kematian dikenal dengan Manjanguak antah dan Manjanguak Masak merupakan Adaik
Salingka Nagari yang dilakukan hingga kini dalam setiap upacara kematian di
Nagari Tandikek.
Dalam penelitian ini, tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam proses pelaksanaan mempunyai berbagai
bentuk tindakan, seperti berdoa, makan bersama. Kegiatan tersebut memiliki simbol
yang dengannya dapat ditafsirkan maknanya. Berkaitan dengan ini maka tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak tetap dipertahankan oleh masyarakat Nagari
Tandikek. Hal ini disebabkan pertama menjalin
tali sirahturahmi supaya tidak terputus; kedua
Prinsip memberi dan menerima, ketiga saling membantu dan tolong
menolong; Berikut ini akan dijelaskan
lebih rinci mengenai sebab musabab tersebut:
Pertama
menjalin
siraturahmi antara orang yang datang Manjanguak
Masak dan Manjanguak Mantah dengan
keluarga duka, bahkan orang yang berada di rantau juga ada ikut datang ke rumah
duka untuk berkumpul, dan bercerita. Makna
menjalin silaturahmi
adalah untuk menjaga hubungan supaya tidak terputus. Seperti yang diungkapkan
Bapak Bagindo Sutan.[98]
“Nan jaleh
wakatu manduo kali tujuah ko, sadolah urang tibo ka umah kamatian tu, nan dari
bako, sanak dakek, sanak jauah, urang rantau pulang nyo tu, disitu awak-awak
basobok, bacarito jo manjalin sirahturahmi namoe”beko urang yang sukses di
rantau tu badoncek[99]
(”Yang jelas waktu
14 hari ini, semua orang datang ke rumah kematian, baik dari bako, kerabat,
serta orang yang berada di rantau, disana mereka semua bertemu, bercerita menjalin
tali sirahturahmi. Nanti orang yang sukses tu melakukan badoncek”)
Ibu Ramiyan[100]juga
mengatakan bahwa:
Katiko ma duo
kali tujuah ko, yo rami bana urang nan tibo sadoalahnyo bakumpua, bako, ipa,
bisan, dari keluarga nan maningga ko tibo, kok nan ado dirantau urangnyo pulang
sadoalahnyo. Katiko makan tu nampak bana
beko tu baa nan basamo tu.
(Ketika
14 hari kematian , orang ramai di rumah duka, semua orang berkumpul di sana,
bako, ipar, dan besan dari keluarga yang
meninggal. Orang yang berada di rantau juga turut pulang. Kebersamaan terlihat
ketika melakukan makan bersama).
Badoncek merupakan perlombaan status bagi kaum laki-laki yang
pulang dari perantauan, semakin banyak sumbangan yang diberikan maka, status
yang dimiliki dalam masyarakat juga tinggi. Badoncek
dilakukan di halaman rumah duka sebelum dilakukan prosesi mendoa. Semua
pemuda perantauan berkumpul diselingi dengan segelas teh atau kopi hangat serta
kue-kue kering. Badoncek tidak hanya
dilakukan pada waktu upacara kematian, tetapi juga pada waktu pesta perkawinan,
Maulid Nabi Muhammad SAW.[101]Dikalangan mahasiswa dan dosen-dosen terutama berasal dari Pariaman acara Badoncek juga juga dilakukan biasanya
pada waktu acara berbuka bersama di bulan puasa.[102]Jadi terlihat kebersamaan antara satu dengan yang
lainnya ketika dilakukan acara Badoncek.
Kedua
tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak ini dijadikan sebagai ajang memberi dan menerima. Sesuatu yang telah
diberikan yang nantinya kan diterima kembali. Begitu pula dengan tradisi ini,
pembawaan yang diberikan kepada keluarga duka oleh orang yang datang Manjanguak, nantinya akan terima oleh
orang yang datang Manjanguak. Seperti
yang diungkapkan oleh Hj. Rakibah.[103]
“Pambawoan nan
dibawo ka rumah maningga tu, ayam, beras, dan telur, beko awak ka pulang nyo
isian lo ka dalam tenong tu lamang tu, kalau pambawoan dek bako, nyo isian lo
lamang, kain palakaik. Tapi yo haragonyo ndak seimbang doh dengan apo nan
diberikan tu.”
(Barang bawaan yang dibawa oleh orang yang ke
rumah duka, seperti ayam, beras, dan
telur. Setelah acara selesai semua warga yang datang berpamitan untuk pulang, isi
bakul tersebut diganti dengan lemang oleh keluarga duka. pembawaan yang di bawa
oleh bako mereka juga gantikan dengan
lemang, dan kain sarung. Tetapi harganya tidak sebanding dengan apa yang
kita berikan itu.)
Hal itu juga dipertegas oleh Deddy
Guswin[104]
”Sabanae awak
pai ka umah kamatian tu agiah maagiahnyo, po yang wak agiahan beko, beko wak
diagiah e lo beko tu mah….baitu pulo katiko wak dapek musibah kamatian, urang
datang ka rumah awak, awak tu harus datang lo ka rumah urang”
(Sebenarnya kita pergi ke rumah kematian memberi dan
menerima tu, apa yang kita berikan, nanti kita kan menerima kembali, begitu
pula ketika kita mendapat musibah kematian, orang datang ke rumah kita, tentu
kita harus pula datang ke rumah mereka.)
Selanjutnya yang Ketiga
membuat masyarakat Nagari Tandikek dapat saling membantu dan tolong
menolong. Hal ini tergambar dalam proses pembuatan lemang (dilakukan oleh bako) satu hari sebelum berangkat ke
rumah duka. Tidak hanya kaum ibu-ibu yang terlibat, tetapi juga kaum
bapak-bapak, dan Urang Sumando/
menantu dari pihak bako.[105]
Bukan cuma itu, dalam pemilihan bambu untuk pembuat lemang harus diseleksi
terlebih dahulu, layak atau tidaknya dipakai bambu yang akan digunakan dalam
pembuatan Lemang tersebut. Berikut
penuturan dari Nurlela mengenai hal ini:
“Sabalum mamasak
lamang, harus disediakan terlebih dahulu buluah, beras,santan kelapa, dan kayu
untuk membakar bambu lemang. Disiko sadolahnyo bakumpue mangarajoan tugaeh e
masiang-masiang, nampak jiwa gontong royong e: kok nan laki-laki mancari kayu
dalam palak, nan padusi menyiapkan segala sesuatunya.
(“Sebelum memasak lemang, terlebih dahulu disediakan
bambu, beras, santan kelapa, dan kayu untuk membakar bambu pembuat lemang. Di
sini terlihat semuanya jiwa kegotong royongan mereka, semuanya berkumpul:laki-laki
mencari kayu bakar, yang perempuan menyiapkan segala sesuatunya.)
1.
Makna Aktivitas
a.
Berdoa
Berdoa dengan
menadahkan telapak tangan seraya meminta mengandung makna bahwa manusia adalah
mahkluk yang lemah di hadapan Allah, dan kepada Allah SWT manusia meminta apa
yang kehendaki, mengusapkan kedua telapak tangan ke muka, setelah berdoa
mengandung makna kerendahan hati makhlukNya dan pengakuan syukur akan kebesaran
Tuhan. Selanjutnya berzikir dengan menyebut nama Allah dan kebesarannya secara
lisan, berzikir tersebut mengucapkan Lailahhailallah
dengan menggelengkan kepala ke kiri
dan ke kanan itu bermakna tiada tuhan selain Allah, gerakan gelengan tersebut
menandakan bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah. Berzikir dengan mengucapkan nama
Allah, dengan gerakkan kepala ke atas dan ke bawah yaitu bermakna meyakini
kebesaran Allah serta tunduk terhadap perintah dan larangaNya.
b.
Makan
Bersama
Makan bersama
juga merupakan aktivitas yang amat penting dalam ritual keagamaan. Makan
bersama ini didahului oleh pihak bako,
serta para undangan yang hadir, Urang
Siak, dengan duduk melingkari hidangan yang dibawa bako. Waktu makan bersama posisi duduk Urang Siak lebih ditinggikan
dengan duduk di atas kasur. Posisi duduk Urang
Siak melambangkan kedudukannya lebih
tinggi dari orang-orang yang hadir di hajatan tersebut, karena Urang Siak yang memimpin doa. Makna dari makan bersama
adalah bentuk basa-basi yang tinggi dari pihak keluarga duka.
c.
Pemberian Lemang
Pemberian
lemang yang diberikan oleh keluarga duka terhadap orang yang datang Manjanguak Mantah, Manjanguak Masak, Urang Siak sebagai ucapan terima kasih dari keluarga almarhum/almarhumah. Perbedaan
pemberian jumlah lemang mempunyai makna yaitu keterkaitan hubungan keluarga duka dengan tamu yang
datang. Semakin banyak lemang yang diberikan oleh keluarga duka, berarti
hubungan kekerabatannya dengan duka lebih dekat.
2.
Makna Pembawaan
Pembawaan adalah simbol dari aktivitas Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Simbol adalah objek,
kajian, bunyi, bicara, atau benda-benda tertulis yang diberi makna oleh
manusia. Simbol ini dapat berbentuk bahasa, mimik wajah, gerak-gerik, tata
ruang dan benda-benda ritual.[106]
Dalam tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak pembawaan yang
diberikan ke rumah duka mempunyai makna tersendiri. Pembawaan dibedakan menjadi
dua, yang pertama pembawaan Manjanguak
Mantah dan kedua, Manjanguak
Masak. Pembawaan Manjanguak Mantah adalah
ayam kampung, beras dan telur. Sedangkan pembawaan Manjanguak Masak adalah makanan, lauk pauk dan lemang. Makna dari
pembawaan adalah sebagai bentuk kepedulian. seperti yang diungkapkan Datuak
Palembang Basa[107]
“bajalan babuah batih, malenggang babuah
tangan (berjalan berbuah betis, melenggang berbuah tangan).” Orang yang melakukan manjanguak tersebut
akan merasa malu apabila datang dengan tangan kosong. Jadi pembawaan yang
diberikan kepada pihak duka sebagai bentuk bantuan meringan beban keluarga
duka, karena keluarga duka sudah jatuh tertimpa tangga pula.
3.
Makna Perlengkapan dan di Rumah Duka
Perlengkapan dan peralatan yang digunakan pada acara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak adalah tirai, kasur, carano, dan kemenyan. Masing-masing
perlengkapan dan peralatan tersebut memiliki makna tertentu yang dapat dilihat
sebagai berikut.
a.
Tirai
Tirai
dibuat dari warna kain putih dan dilingkari kain kuning di setiap sisinya yang
berbentuk persegi panjang. Tirai merupakan sejenis kain penutup loteng yang
berada di atas kepala Urang Siak yaitu orang yang dipercayai memimpin doa dalam
melakukan aktivitas berdoa. Tirai dibedakan menjadi dua jenis yaitu tirai Bakolam dan tirai Bacancang. Tirai Bakolam sebagai
naungan Ulama, Imam, Kahtib dan Labai. Tirai
ini digunakan pada saat ritual kematian. Sedangkan tirai Bacancang sebagai naungan niniak
mamak dan hanya digunakan pada saat mengadakan upacara perkawinan. Urang Siak dianggap kedudukan lebih
tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu tempat duduknya ditinggikan.
b.
Kasur
Kasur
yang terbuat dari kapas (kapuk). Kasur yang digunakan hanya satu buah. Kasur ini
disediakan sebagai alas tempat duduk Urang Siak. Kasur ini diletakkan
di bawah naungan tirai Bakolam yang
dialas dengan sebuah kain panjang (kain batik) pada posisi tempat duduk orang
siak. Makna dari kasur adalah penghormatan terhapat Urang Siak dengan memberikan tempat duduk yang nyaman bagi mereka. Urang Siak dianggap kedudukan lebih
tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu tempat duduknya ditinggikan dengan
duduk di atas kasur.
c. Carano
Carano merupakan peralatan adat yang
terbuat dari logam atau kuningan yang selalu digunakan saat melakukan upacara
adat. Carano dilingkari dengan arai
pinang yang telah dibentuk. Di dalam carano
terdapat daun sirih, pinang, sadah, gambir,dan tembakau. Carano ini melambangkan rasa hormat kepada orang yang hadir dalam
melakukan mengaji kematian tersebut. Dalam setiap upacara adat menghormati tamu
menyuguhkan sirih serta kelengkapannya merupakan alat komunikasi yaitu adab
basa-basi.
Carano
yang digunakan dalam upacara ini adalah carano
biasa, yaitu terbuat dari kuningan bentuk dulang,
tetapi tidak begitu lebar dan lebih dalam dengan diameter ± 25 cm. Carano mempunyai satu kaki yang
berbentuk bundar, pada bagian pinggir luarnya mempunyai motif tumpul, dan
bagian badan sebelah luar mempunyai motif sulur-suluran. Makna dari carano adalah penghormatan terhadap
orang yang hadir dengan menyuguhkan sekapur sirih untuk dimakan sebagai bentuk
basa-basi.
d. Kemenyan
Kemenyan adalah suatu jenis wewangian yang berasal dari
getah kayu yang bernama kemenyan. Kemenyan dibakar di atas bara api, kemenyan
yang dibakar pada saat prosesi acara Manjanguak
Mantah dan Manjanguak Masak
adalah bewarna putih. Warna putih dianggap
suci dan bersih, serta aroma yang dihasilkan juga lebih wangi dan tajam.
Kemenyam ini dibakar oleh Urang Siak saat memulai ritual dengan alas
dari sabut (sabuik) kelapa atau
piring logam yang tahan panas. Makna dari pembakaran kemenyan adalah untuk
memanggil roh-roh nenek moyang. Kemenyan sebagai simbol penghubung antara dunia
nyata dengan dunia gaib.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak sebagai bentuk upacara yang dilakukan dan dipahami oleh masyarakat
setempat, dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan oleh
masyarakat setempat,
meskipun suasana yang amat sulit sekalipun seperti pada kematian yang terjadi
akibat bencana alam gempa. Bahkan upacara itu mereka lakukan di tenda-tenda
sekalipun. Jadi pertanyaan penelitian mengapa pranata tetap dipertahankan oleh
masyarakat Tandikek dan apa makna yang terkandung dalam tradisi tersebut?
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak yang dilakukan masyarakat
Tandikek ketika 14 (empat belas) hari setelah jenazah dikuburkan, upacara ini dilakukan karena keluarga
duka tidak lagi larut dalam suasana sedih. Masyarakat setempat masih mempertahankan
tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak
Masak, karena dinilai penuh makna. Tradisi ini diyakini masyarakat karena
untuk: (1) Untuk menjalin tali siraturahmi supaya tidak terputus, (2) saling menerima
dan memberi, (3) saling membantu dan gotong royong.
Tradisi
Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan gengsi sosial dan ajang proyek. Hal itu
terlihat ketika orang yang akan pergi manjanguak melakukan pinjaman kepada orang lain, dan meminjam emas
demi menutupi rasa malu yang dimilikinya. Dikatakan sebagai ajang mendapatkan keuntungan, hal tersebut
terlihat
ketika keluarga duka ada yang menjual barang bawaan orang yang datang manjanguak setelah upacara kematian
selesai, dan acara Badoncek yang
dilakukan oleh orang yang datang dari rantau, serta adanya dinamika perubahan waktu
yang tidak harus tepat 14 hari kematian. Upacara tersebut bisa saja dilakukan hari ke ke-12
ataupun hari yang ke-16.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan menggambarkan pemaknaan, dan proses pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Di dalam proses
pelaksanaan ditemukan, bahwa untuk pergi manjanguak
diduga ada motif-motif ekonomi seperti peminjaman emas ketika akan melakukan Manjanguak yang belum tergali lebih dalam penelitian ini. Hal ini dapat
mendorong penelitian selanjutnya. Pengkajian tradisi Manjanguak Mantah dan
Manjanguak Masak dari sudut pandang yang berbeda akan meningkatkan
pemahaman pembaca mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan tradisi
tersebut.
[1] Pranata
sosial adalah sistem norma atau peraturan-peraturan khusus yang mengatur suatu
aktivitas masyarakat; Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:Rineka Cipta, 1990 hal :134
[2] Upacara
Kematian adalah suatu upacara yang
diadakan berhubungan dengan peristiwa kematian seseorang untuk menunjukan
perasaan berkabung Ariyono, Suryono, Kamus
Antropologi. Jakarta , Akademika Persindo, 1985, hal. 425
[3] Ngaben adalah upacara kematian untuk mensucikan roh leluhur atau
orang tua yang telah meninggal dunia dengan cara pembakaran mayat sesuai dengan
ajaran agama hindu.
[4] Lusianna
M.E Hutagallung.”Ngaben”Upacara
Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya di Bali.Kertas Karya. USU Medan. 2009.
[5] Rambu solo; merupakan upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan
keluarga almarhum untuk membuat pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada
mendiang yang telah pergi. Masyarakat yang melakukan upacara dibagi kepada dua
golongan ; (1) golongan bangsawan, jika golongan bangsawan yang meninggal dunia
maka jumlah kerbau yang akan disembelih mencapai 20 sampai 100 ekor kerbau dan
pesta yang dilakukan selama dua minggu; (2) golongan menengah juga harus
menyembelih kerbau 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi dan lama upacara sekitar tiga
hari. Sebelum jumlah hewan mencukupi, maka jenazah tidak boleh dikuburkan di
tebing atau di tempat tinggi, makanya tidak jarang jenazah disimpan selama
bertahun-tahun di tongkonan sampai
keluarga almarhum/almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Rotua Tresna
Nurhayati Manurung.2009.
Upacara kematian di Tana Toraja :Rambu
Solo.Kertas Karya. USU Medan.
[7] Tradisi merupakan
aspek-aspek budaya yang sangat penting yang dapat di ekspresikan dalam
kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis, pantangan-pantangan dan sanksi-sanksi.
Deddy. Mulyana, Komunikasi Antar Budaya.
Bandung, PT.
Remaja Rosda Karya, 2005, hal :123
[8] Ayam yang dibawa adalah
ayam kampung. Ayam betina menandakan orang yang yang meninggal itu
perempuan, sedangkan ayam jantan menandakan yang meninggal itu laki-laki.
[9] Bako adalah: Sebutan untuk keluarga ayah. LKAAM, 2002. Adat
Basandi syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pedoman Hidup Banagari , Sako Batuah
:Padang , hal :53
[10] Urang Siak adalah alim ulama yang telah ditunjuk oleh masyarakat
untuk membaca doa (mengaji) untuk almarhum/almarhumah yang berjumlah 5-10
orang.
[11] Zaiful,
Anwar, Upacara Turun Mandi Anak Secara
Tradisional Minangkabau di Daerah Sumatera Barat di . Padang, Departemen Pendidikan dan kebudayaan,
1991, hal 2
[13]Novitry.
Makna Tradisi Maanta Kasua dalam Upacara Kematian pada
Masyarakat Nagari Kapau.
skripsi. Padang: FISIP UNAND.2008
[14]Ernatip,
dkk. Pasambahan Dalam Upacara Kematian di Kecamatan Kuranji Kota Padang. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Padang. 2005
[15] Bagindo Sutan (60
tahun) salah seorang Labai Kampuang di Nagari Tandikek.
Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Juli 2010.
[18] Op.cit hal : 17
[19] Ahmad F. Saifuddin. Antropologi Komtemporer. Kencana:Jakarta 2006.hal :288
[21] Ibid hal : 297
[23] Bako adalah keluarga dari ayah. Dalam
kaitan dengan upacara kematian ini yang
harus melaksanakan kegiatan tersebut adalah bako yang memiliki ikatan yang
lebih dekat dengan pihak duka. Sementara bako yang tidak memiliki ikatan dekat
atau jauh tidak haru smelakukan hal itu.
[24] Dalam paradigma ini
tidak terdapat pemisahan atau jarak antara pengamat dengan dengan masyarakat
yang diteliti. Nasution.1986.Metode
Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung
:Tarsito. Hal 4
[25] Geertz dalam
penelitiannya juga menggunakan metode etnografi yang berpedoman kepada
Malinowski.
[26] James. Spradley, Metode Etnografi.Yogyakarta. PT. Tiara
Wacana, 1997, hal 3
[27] Agus
Salim. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya.
2001.hal.151-152
[28] Ibid, hal 151-152
[29]Pada Tanggal 12
Desember 2010 bertempat di rumah duka di Jorong Galoro. Upacara ini dilakukan
di rumah Lambuak anak dari Angah Sunan (Almarhumah). Pagi jam 09.00 peneliti
sudah sampai di tempat tujuan yaitu ke rumah Lambuak. Peneliti datang untuk
melakukan Manjanguak Mantah. Sampai
di rumah duka, peneliti ikut membantu
masyarakat yang hadir di sana. Masing-masing orang yang hadir di sana mempunyai
aktivitas tersendiri, ada yang sibuk membuat lemang, menguliti ayam, memasak
nasi, serta lauk pauknya, sambil bersenda gurau, ada menceritakan anaknya yang
telah sukses di rantau orang. Disela waktu, datanglah tukang kredit yaitu orang
Batak yang mengantarkan tikar plastik ke rumah Lambuak. Semua mata tertuju
kepada tukang kredit tersebut, apakah itu disengaja atau tidak oleh tuan rumah
peneliti tidak tahu. Pada saat itu peneliti dimarahi oleh salah seorang nenek
karena membakar bambu bekas lemang. Pada saat itu peneliti
tidak melihat kayu bakar, makanya
peneliti memasukkan bambu bekas lamang. Peneliti
berpikiran bahwa dengan bambu itu api dengan cepat dapat menyala dan gulai nangka yang sedang dimasak saat itu
akan cepat matang. Untuk lebih rinci penjelasan
dapat dlihat pada bab III halaman 47.
[30] Ibid.hal.25-26
[31] Pedoman wawancara
lihat di lampiran 1
[33]
Clifford Geertz. Dikutip dalam Nur Syam. 2007. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta. LkiS. Hlm. 94
[34] Buku Profil Nagari
Pemerintah Kabupaten Padang
Pariaman 2008
[35] Arlis Datuak Lansa
(62 tahun) Adalah Panghulu Piliang di Nagari Tandikek, sekaligus Kepala bidang
Sako KAN Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2010 di Kantor Wali
Nagari.
[36] Datuak Palembang Basa
(58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Desember 2010.
[37] Cumanak dan Gunung
Tigo berada di Jorong Lareh Nan Panjang.
[38] Ungkap Sabar yang
merupakan Sekretaris Wali Nagari Tandikek,Wawancara
pada tanggal 12
Desember 2010.
[39] Zahidin Alam (59
tahun) Walinagari Tandikek, wawancara pada tanggal 3 Januari 2011
[40] Refisrul Dkk, Tradisi
Manampuah dalam upacara perkawinan di
Nagari Padang Magek Kabupaten Tanah Datar. Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, Padangt, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2007.
[41] Diungkapkan oleh Rosine
(68 tahun) salah seorang dukun di Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 30
September 2010.Wawancara dilakukan pada sore hari setelah Rosine selesai
menerima tamunya yang minta pelaris barang dagangannya.
[42]Preusz dalam
Koenjaraningrat, Ritus Peralihan di
Indonesia. Jakarta,
Balai Pustaka, 1985, hal 26
[44] Bagindo Sutan (60
tahun) salah seorang Labai Kampuang di Nagari Tandikek.
Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Juli 2010.
[45] Baruah (65 tahun)
anggota masyarakat Tandikek. Wawancara pada tanggal 6 Desember 2010
[46] Elizabeth. K. Nottingham, Agama dan Masyarakat. Jakarta, Rajawali Pers, 1942, hal. 72.
[47] Nawin
(65 tahun), merupakan salah seorang ulama di Nagari Tandikek. Wawancara pada
tanggal 5 April 2011 di warung sambil minum kopi, yang lokasinya dekat dari
rumah peneliti.
[48] Dari pengamatan di lapangan, keluarga duka telah mempersiapkan
segala sesuatunya misalnya menyediakan nasi, lauk pauk dan minuman di rumah tetangga, tidak dilakukan di rumah duka. Cuma
sebagian orang yang mau makan, karena masyarakat menaati perintah agama.
[50] Lambuak
(43 tahun), merupakan orang yang melakukan upacara kematian. Wawancara pada
tanggal 12 Desember 2010.
[51] Kartini (45 tahun) anggota masyarakat
biasa. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 November 2010.
[52] Syahrial Yazid (56
tahun, pensiunan), Datuak Panghulu
Tanjuang Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 19 Maret 2011 bertepatan
dengan wisuda anaknya di UNP. Wawancara dilakukan di kos peneliti pada sore
hari.
[54] Lambuak
(43 tahun), Lambuak merupakan orang yang melakukan upacara kematian. Wawancara
pada tanggal 12 Desember 2010
[55] Hj.Rakibah (72 tahun)
anggota masyarakat biasa. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November 2010
[56] Mariani
(55 tahun), orang yang melakukan Manjanguak
Mantah. Wawancara pada tanggal 4 Januari 2011
Desember 2010.
[62] Dari
hasil observasi selama penelitian, mereka sewaktu melakukan makan bersama
mendapatkan pujian atas masakan yang dibawa bako tersebut. Salah seorang dari pihak
bako tersipu malu.
[63] Induak
Samba
merupakan sejenis lauk pauk yang diletakkan di atas piring. Lauk pauk ini tidak
boleh dimakan, hanya sebagai pajangan di hadapan tamu yang datang. Jika lauk pauk itu
dimakan, maka anggapan masyarakat indak
tahu jo adaik (tidak beradat), karena
merupakan simbol kebesaran dari pihak keluarga yang didatangi oleh bako dan kerluarga duka. Induak samba ini merupakan hidangan yang dihidangkan dalam ukuran
yang besar, sebagai contoh jika makanan tersebut adalah singgang ayam, maka
dihidangkan satu ekor ayam tanpa dipotong-potong dan jika merupakan makanan
olahan dari daging sapi, ukuran sayatannya juga besar, kira-kira satu kilogram
daging yang tidak
dipotong. Induak Samba itu dimakan
oleh keluarga duka setelah selesai upacara
kematian. Ditemukan banyak yang tersisa dan akhirnya terbuang begitu saja.
[65] Beras picarai adalah beras untuk dimasak
sehari-hari
[66] Nongkopi yaitu beberapa makanan kecil yang telah dimasak seperti
kue roda, dan agar-agar.
[67] Mariani (55 tahun,
tamat SD), biasanya panggilan sehari-hari Uniang,
anggota masyarakat Nagari Tandikek, wawancara 4 Januari 2011 di rumah
informan. Wawancara dengan informan dilakukan ketika sore hari dengan santainya
sambil mengisap rokok daun nipah.
[68] Zuriati (41 tahun),
yang melakukan manjanguak masak.
Wawancara pada tanggal 5 januari 2011 di rumah duka, bertempat di Korong
Paramantalang. Peneliti datang ke rumah informan dua hari sebelum dia
melaksanakan acara manjanguak masak.
[70] Mardianto (25)
Pemilik toko emas, wawancara tanggal 11 Desember 2010. Secara tidak sengaja
peneliti melihat ibu MW berada di toko emas yang pemiliknya merupakan teman
peneliti waktu SLTP. Ibu MW itu sedang
mengembalikan emas yang dipinjam. Saat itu peneliti berada di toko emas
tersebut sedang menanyakan emas gram, mencoba menggali informasi dari ibu
tersebut tapi dia menghindar. Setelah ibu itu pergi selanjutnya peneliti
menanyakan kepada pemilik toko tentang peminjaman emas.
[72] Pambawoan merupakan barang bawaan baik dari orang yang Manjanguak Masak ataupun Majanguak Mantah.
[73] Jaruni (59 tahun),
orang yang melakukan Manjanguak Masak. Wawancara
pada tanggal 8 Januari 2011
[74]Terkait peminjaman
emas dalam hal upacara kematian. Menurut penuturan Mardianto sangat sedikit
orang meminjam emas untuk hal kematian dibandingkan untuk pesta perkawinan.”nan untuak pai kamatian, yo pacahan ndak
ado doh, buliah dikatoan jarang lah”
[75] Datuak
Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011
[79] Ungkap Yandri Faisal
(26 tahun, penjual sebako harian) anggota masyarakat biasa. Yandri merupakan
kakak teman peneliti sendiri yang cukup kenal Wawancara dan pengamatan tanggal
16 Januari 2011. Peneliti berada di pasar untuk membeli bawang. Pada saat itu
peneliti mengamati salah seorang ibu paroh baya yang memberikan uang kepada
yandri sambil berbisik,tapi barang yang dibelinya tidak tampak oleh peneliti.
Setelah langganannya sepi peneliti menanyakan kepada yandri tentang ibu tadi.
[80] Datuak Palembang Basa
(58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011.
[81] Tudung
Air, merupakan sejenis tudung yang terbuat dari rotan untuk menutupi, untuk
menutupi lauk pauk.
[84] Oto Kompong, merupakan sejenis mobil dengan bagian belakangnya
terbuka atau tidak beratap. Biasanya menggunakan mobil Mitsubishi L 300.
[85] Koentjaraningrat,
1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial,
Jakarta: Dian
Rakyat. Hal.254
[86] Cimuih (48 tahun).
Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Januari 2011
[87] Lidar (56 tahun)
anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 11 Februari 2011
[88] Basyirudin Fajal (51
tahun) ulama di Nagari Tandikek, wawancara pada tanggal 13 Februari 2011. Saat
itu peneliti dan informan berada di lapau sambil minum kopi.
[90] Tirai
Bakolam merupakan tirai yang dipakai
dalam rangka kematian . Tirai bakolam bewarna kuning, melambangkan salah satu
anggota keluarga ada yang pergi untuk selamanya (orang yang meninggal).
[91] Tirai
Bacancang merupakan tirai yang
dipakai dalam upacara perkawinan. Tirai Bacancang
mempunyai banyak variasi warna, melambangkan kemeriahan.
[93] Siroih (45 tahun)adalah
orang yang melakukan mengaji kematian. Wawancara pada tanggal 10 Februari 2011.
[94] Zulbainar (62
tahun)anggota masyarakat Korong
Galoro. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2010. Wawancara dilakukan di lapau (warung) dekat dengan rumah
Lambuak yang melakukan hajatan 14 hari kematian orang tuanya yang bernama Angah
Sunan.
[95] Radam, Noerid Haloei,
2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: yayasan semesta hal 15.
[96] Daniel L Pals.2001. Seven Theoris of Religion. Yogyakarta: Qolam. Hal 413
[97] Clifforg Geertz.1992.Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius hal vii
[98] Bagindo
Sutan (60 tahun) salah seorang Labai
Kampuang di Nagari Tandikek. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juli 2010.
[99] Badoncek adalah semacam bentuk
penggalangan dana yang dilakukan oleh kaum lelaki yang sukses dirantau orang.
Kaum lelaki ini adalah kerabat dekat, teman dekat dari keluarga yang meninggal.
Biasanya disini secara tidak langsung terjadi perlombaan status, apabila
seseorang uang Badoncek besar maka status yang dimiliki dalam
masyarakat juga tinggi. Selain itu jumlah uang yang diberikan nanti dituliskan
dalam sebuah buku yang telah disediakan oleh keluarga yang melakukan upacara
kematian.
[100] Ramiyan (43 tahun,
tamat SMK ), anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 18 Januari 2011.
informan.
[103] Hj Rakibah (72 tahun, tamat SMP) wawancara
pada tanggal 2 Desember 2010.
[104] Deddy
Guswin (26 tahun, tamat SMK), Ketua Pemuda sekaligus penjual pupuk urea.
Wawancara pada tanggal 5 Januari 2011 di rumah informan. Informan kala itu
sedang mengupas kelapa untuk dijual ke Pekanbaru.
[105] Nurlela (55 tahun,
tamat SD). Anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 5 Januari 2011,
pada saat itu informan berada di rumah Deddy Guswin untuk membeli pupuk.
[107] Datuak
Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011
DAFTAR RUJUKAN
Daniels L. Pals. Seven
Theoris of Religion.Yogyakarta: Qalam. 2001
Ernatip, dkk.
Pasambahan dalam upacara kematian di
Kecamatan
Kuranji Kota Padang. Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang. 2005
Elizabeth K.
Notingham, Agama dan Masyarakat. Jakarta:Rajawali Pers.
1942
Geertz, Clifford.
Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
1992
--------------------. Kebudayaan
dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995
Koentjaraningrat.
Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta:Rineka Cipta.1990
---------------------.
Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
1972
---------------------.
Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
1985
LKMM, 2002. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah Pedoman
Hidup Banagari. Sako Batuah: Padang
M.E Hutagallung, Lusianna M.E. ”Ngaben”Upacara
Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya di Bali. Kertas Karya: USU
Medan. 2009
Mulyana, Deddy. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT.
Remaja Rosda
Karya. 2005
Novitry. Makna
Tradisi Maanta Kasua Dalam Upacara Kematian Pada
Masyarakat Nagari Kapau. skripsi. Padang: FISIP UNAND. 2008
Manurung, Nurhayati,
Rotua. Upacara kematian di Tana Toraja: Rambu
Solo. Kertas Karya: USU Medan. 2009
Margaret M. Poloma. Sosiologi Kotemporer. Jakarta:
CV Rajawali 1984
Salim, Agus. Teori
dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Tiara
Wacana Yogya.
2001
Spradley,
James P. Metode Etnografi. Pengantar
Amri Marzali. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 1997
Saifuddin,
Achmad Fedyani. Antropologi Komtemporer:
Suatu Pengantar
Kritis Mengenai
Paradigma.Kencana:
Jakarta. 2006
Suryono, Ariyono, Kamus
Antropologi. Jakarta: Akademika Persindo. 1985
Syam,
Nur. Madhab-Madzhab Antropologi.
Yogyakarta : PT LkiS Pelangi
Aksara. 2007
Radam,
Noerid Haloei, Religi Orang Bukit. Jakarta: Dian Rakyat.
2001
Van.
Ball, J, Sejarah dan Pertumbuhan Teori
Antropologi Budaya. Jakarta,
Gramedia,
1998
Zaiful,
Anwar, Upacara Turun Mandi Anak Secara
Tradisional Minangkabau
di
Daerah Sumatera Barat di . Padang,
Departemen Pendidikan dan
kebudayaan,
1991
Komentar
Posting Komentar