MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAKMASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT


MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAKMASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK
 KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT 

ABSTRAK
Yosi Trisa:     Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam Upacara Kematian Di Nagari Tandikek. Skripsi. Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan satu rangkaian upacara kematian yang dilaksanakan di rumah duka setelah 14 hari kematian. Manjanguak Mantah   merupakan aktivitas upacara kematian yang dilakukan oleh warga masyarakat yang dikenali oleh keluarga dukatampa memperhitungkan kerrabat dengan keluarga duka dengan membawa sebuah panci yang berisikan ayam, telur, dan beras ketan, sedangkan Manjanguak Masak adalah aktivitas pihak bako yang data ke rumah duka nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tradisi tersebut masih tetap dilakukan oleh warga masyrakat setempat termasuk kepada korban bencana alam sekalipun yakni pasca gempa 30 September 2009 yang memporak porandakan Nagari Tandikek. Dengan kondisi seperti itu masyrakat masih Permasalahan dalam penelitian ini antara lain: mengapa warga masyrakat Tandikek masih mempertahankan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam rangkaian upacara kematian. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan makna dari tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak.
Penelitian etnografi ini menggunakan analisis teoritis interpretative simbolik oleh Clifford Geertz. Penelitian dilakukan di Nagari Tandikek Kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman, pemilihan informan dilakukan teknik Purpusive Sampling. Pada penelitian ini melakukan observasi partisipasi (pengamatan terlibat). Wawancara mendalam dilakukan untuk memeperoleh gagasan dan ide tentang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak, untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi data yaitu memberikan pertanyaan yang relative sama terhadap informan untuk mengumpulkan data yang sama. Analisis data dilakukan sejak awal penelitian dilakukan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan analisis  interpretative dengan langkah-langkah hermenuetik data, menginterprestasi data, dan intarpratif direpresentasikan.
Hasil penelitian dapat dikatahui bahwa masyarakat Nagari Tandikek tetap mempertahankan tradisi tersebut tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak, dengan maksud untuk menjalin tali sirahturrahmi supama lainnya tidak terputus, sebagai ajang memberi dan menerima antara satu sama lain, dan tolong menolong sesama makhluk sosial. Sesuai dengan ppendekatan Geertz yang digunakan dalam mengungkap makna. Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak juga merupakan suatu gengsi sosial dalam masyarakat, dan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak untuk mendapatkan keuntungan bagi keluarga duka.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam banyak masyarakat dan suku bangsa di dunia, kematian merupakan peristiwa penting yang memutuskan hubungan lahiriah dengan seseorang. Terputusnya hubungan lahiriah tersebut menjadi pendorong munculnya pranata sosial[1] dalam  masyarakat yang berhubungan dengan peristiwa kematian. Pada umumnya agama menganjurkan untuk menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan seseorang yang meninggal tersebut  dalam  kelompok sosial yang ditinggalkannya.
Pranata sosial yang dikembangkan dalam  masyarakat itu menjadi menarik jika dilihat adanya perbedaan-perbedaan yang belum diketahui oleh banyak kalangan di luar kelompok sosial atau masyarakat tersebut. Upacara kematian[2] memiliki ciri-ciri tersendiri antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Sebagai contoh, di Bali ada upacara kematian yang disebut  dengan Ngaben.[3] Upacara Ngaben tersebut menjadi  salah satu atraksi budaya di Bali,[4] dan di Tanah Toraja terdapat pula upacara kematian yang disebut Rambu Solo.[5]
Tidak heran lagi, upacara kematian sudah menjadi tradisi dalam banyak masyarakat dan kebudayaan. Tradisi merupakan perwujudan budaya yang sangat penting yang dapat diekpresikan dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis, pantangan-pantangan dan sanksi-sanksi.[6] Tradisi juga merupakan kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Adapun upaya dari masyarakat untuk mempertahankan kebiasaan itu karena bagi mayarakat tersebut masih relevan dan menjadi kebutuhan bagi masyarakatnya. Namun, kebiasaan tersebut dapat juga ditinggalkan karena tidak lagi dijalankan oleh masyarakatnya.
Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat bertingkah laku, baik dari kehidupan duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Aturan-aturan, norma-norma dan sistem kepercayaan dikondisikan sebagai pola dalam berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. Mereka Mempertahankan norma-norma, nilai-nilai serta aturan-aturan adat sebagai pedoman berprilaku dalam segala aspek kehidupannya.
Sebagai sistem budaya tradisi merupakan suatu sistem yang menyeluruh yang terdiri dari cara-cara dan aspek pemberian arti terhadap ajaran, ritual, dan lainnya, dari manusia yang mengadakan tindakan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Begitu juga dengan masyarakat Minangkabau, mereka juga mempunyai tradisi yang beranekaragam. Keanekaragaman tradisi masyarakat Minangkabau salah satu diantaranya terdapat di Nagari Tandikek, yaitu tradisi yang berhubungan dengan kematian. Masyarakat Nagari Tandikek masih menganggap penting upacara kematian. Oleh karena itu, mereka masih melakukan upacara kematian sesuai dengan aturan-aturan dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Sehingga, tradisi tersebut diduga mempunyai makna bagi masyarakat yang melaksanakannya.
Dalam upacara kematian di Nagari Tandikek terdapat rentetan kegiatan yang harus dijalankan oleh warga, mulai dari memandikan mayat, mengafani, sampai pada  prosesi pemakaman. Masyarakat Tandikek dan masyarakat Minangkabau pada umumnya, apabila ada keluarga, kerabat, sanak kemenakan dan lainnya menghadapi musibah kematian, maka orang-orang yang ditinggalkan akan bergotong-royong menyelenggarakan upacara kematian tersebut. Para kerabat akan hadir secara bersama-sama untuk menyelenggarakan pemakaman jenazah. Setelah jenazah dimakamkan, keluarga yang ditinggal melaksanakan upacara yang sudah sejak dahulu dilakukan oleh  masyarakat Tandikek, seperti manamaik (hari pertama), manigo hari (3 hari), manduo kali tujuah (14 hari), ma ampek puluah hari (40 hari), dan manyaratuih hari (100 hari). Di Tandikek, terhitung sejak jenazah dikuburkan, masyarakat melakukan tahlilan selama tiga hari berturut-turut di rumah duka. Kemudian  duo kali tujuah  terhitung sejak jenazah dikuburkan, dan dilaksanakan pula tradisi[7] Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak dalam rangkaian  upacara kematian yang dimaksud.
Manjanguak Mantah  merupakan aktivitas upacara kematian yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang dikenali oleh keluarga duka tanpa memperhitungkan hubungan kerabat dengan almarhum/almarhumah. Individu yang datang (khususnya kaum ibu), biasanya membawa sebuah panci yang dibungkus dengan kain putih  berisikan telur mentah, ayam,[8] dan beras ketan. Kemudian, Manjanguak Masak adalah aktivitas pihak bako[9] yang datang ke rumah duka dengan membawa nasi dan lauk pauknya. Nasi dan lauk pauk tersebut dihidangkan dan dimakan secara bersama-sama beserta Urang Siak[10] pada waktu 14 hari setelah setelah jenazah dikuburkan.
Penyelenggaraan upacara sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya anggota masyarakat yang bersangkutan, antara lain salah satu fungsinya adalah sebagai pengukuhan norma-norma serta nilai-nilai budaya yang berlaku secara turun temurun.[11] Upacara Kematian merupakan salah satu pranata yang dilakukan oleh masyarakat Tandikek yaitu tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Tradisi ini dilakukan setelah  14 hari setelah jenazah dikuburkan.
                 Pada umumnya, jika masyarakat menghadapi sesuatu kematian,  dilakukan berbagai aktivitas-aktivitas. Aktivitas tersebut  dikembangkan secara tradisional. Sehingga, menjadi adat istiadat masyarakat setempat dan  sulit untuk ditinggalkan. Adat istiadat tersebut melingkari seluruh tahap-tahap kehidupan sejak lahir sampai mati. Menurut Van Gennep, ia menyatakan bahwa dalam tahap-tahap pertumbuhan sebagai individu, yaitu sejak lahir, kemudian masa kanak-kanak, melalui proses dewasa, menikah dan menjadi orang tua. Ia menganggap rangkaian ritus dan upacara dan upacara sepanjang tahap-tahap pertumbuhan atau lingkaran hidup individu, secara umum dapat ditemui dalam masyarakat. Namun masyarakat mempunyai perbedaan dalam memahami upacara tersebut. Suatu upacara dianggap penting oleh suatu masyarakat  dan kebudayaan belum tentu penting bagi masyarakat dan kebudayaan lain, bisa saja bagi mereka tidak berarti sama sekali sehingga tidak diberlakukannya upacara.[12] Masyarakat Tandikek tetap melakukan tradisi Manjanguak Mantah  dan Manjanguak Masak walaupun korban bencana alam sekalipun. Berbeda dengan nagari yang ada di Kabupaten Padang Pariaman misalnya Nagari Padang Alai, dan Nagari Padang Sago yang tidak melakukan melaksanakan tradisi tersebut.
  Penelitian tentang upacara kematian sudah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya dilakukan Novitri[13] pada tahun 2008 yang lalu. Novitri meneliti makna Tradisi Maanta Kasua dalam Upacara Kematian pada masyarakat Nagari Kapau. Dalam penelitiannya, dia menemukan ada tiga makna yaitu  ma anta kasua Pertama, dari kekerabatan : (a) untuk menjalankan adat dan agama, (b) adanya rasa solidaritas, Kedua, makna dari pihak bako (a) agar hubungan antara kekerabatan antara bako dan anak tidak putus, (b) tanda sucinya hubungan kekerabatan, Ketiga, makna bagi pihak anak/keluarga yang ditinggalkan yaitu maanta kasua sebagai Maantok Tangih Mambasuah Lantai.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Ernatip dkk[14] yang membahas Pasambahan dalam Upacara Kematian di Kecamatan Kuranji Kota Padang. Dalam penyelenggaraan jenazah terdapat perbedaan antara (1) jenazah panghulu, niniak mamak bajinih, (2) jenazah orang kebanyakan, masyarakat umum, (3) jenazah remaja dan anak-anak. Bila yang meninggal dunia itu penghulu, niniak mamak bajinih urutan kegiatannya adalah Mancabiak Kain Kapan, Pasambahan, mamandikan, mengapani, Menyembayangkan, Adat Tangah Padang dan menguburkan. Bila yang meninggal mayarakat umum urutan kegiatannya adalah Mancabiak Kain Kafan, asambahan, mamandikan, mengafani, menyembayangkan dan menguburkan. Di pihak lain kalau yang meninggal itu remaja dan anak-anak, tidak diselenggarakan secara adat hanya berlaku 4 D yaitu (dimandikan, dikapani, disembahyangkan dan dikuburkan) sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berbeda dengan dua penelitian di atas sejauh ini dalam tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dalam upacara kematian belum ada diteliti sedangkan sampai saat ini tradisi Manjanguak Mantah dan Majanguak Masak masih bertahan di masyarakat Tandikek, termasuk kepada korban bencana alam sekalipun. Tradisi tersebut sampai saat ini masih dipertahankan oleh masyarakat Tandikek, tetapi tidak di nagari lainnya. Menurut informasi yang diperoleh, gempa pada tanggal 30 September 2009 di Nagari Tandikek yang mengakibatkan ratusan orang meningggal dunia akibat tertimbun longsor. Dengan kondisi seperti itu, dua minggu setelah setelah terjadi bencana tersebut masyarakat Tandikek masih tetap melakukan upacara kematian Manjanguak  Mantah dan Manjanguak Masak dari sekurang-kurangnya ada 25 keluarga yang selamat dari bencana tersebut. Aktivitas tersebut mereka lakukan di tenda-tenda darurat, atau di rumah yang masih dapat dihuni (tidak mengalami rusak berat).[15] Dari penjelasan Bapak Bagindo Sutan tampak, bahwa, tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak masih melekat dalam masyarakat Tandikek yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat.
B.     Batasan dan Rumusan Masalah
Upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak sebagai bentuk upacara yang dilakukan dan dipahami oleh masyarakat setempat, dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan maupun benda-benda yang digunakan yang secara keseluruhan diasumsikan memiliki makna oleh masyarakat. Upacara ini tetap dilakukan oleh masyarakat setempat, meskipun suasana yang amat sulit sekalipun seperti pada kematian yang terjadi akibat bencana alam gempa. Bahkan upacara itu mereka lakukan di tenda-tenda sekalipun. Bertolak dari focus dan realitas di atas  secara implisit termaktup betapa pentingnya upacara tersebut, sehingga dalam kondisi yang sangat rumit upacara ini tetap dilaksanakan. Dalam konteks demikian peneliti tertarik untuk meneliti  mengapa pranata tetap dipertahankan oleh masyarakat Tandikek dan apa makna yang terkandung dalam tradisi tersebut?
C.    Tujuan Penelitian
                 Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak pada upacara kematian di Nagari Tandikek.

D.    Manfaat Penelitian
                 Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat: (1) Sebagai landasan bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji pokok persoalan terkait dengan kebudayaan  secara lebih mendalam atau fenomena yang sama di daerah lain. (2) Sebagai referensi untuk pembaca, khususnya tentang upacara kematian secara antropologis.

E.     Kerangka Teoritis
Penelitian mengenai upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak ini menggunakan pendekatan kebudayaan melalui teori Interpretatif oleh Clifford Geertz.[16]Menurut Geertz kebudayaan itu adalah suatu pola makna-makna yang diteruskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap ke dalam bentuk-bentuk simbolis yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap tentang kehidupan.[17]Artinya untuk mamahami sebuah kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, seseorang dituntut untuk mempelajari simbol- simbol  yang terdapat pada masyarakat tersebut.
Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak yang dilaksanakan oleh masyarakat Nagari Tandikek merupakan suatu upacara yang memiliki makana tersendiri. Pelaksanaannya berawal dari penafsiran masyarakat pendukungnya, serta dicerminkan melalui praktik-praktik atau kegiatan yang berhubungan dengan tradisi tersebut.
Menurut Geertz kebudayaan dilihatnya sebagai sebagai sistem yang terkait dari tanda-tanda yang dapat ditafsirkan, dengan kata lain kebudayaan itu merupakan sebuah konteks, dan sesuatu di dalamnya dapat dijelaskan secara mendalam.[18]Geertz mendefenisikan kebudayaan sebagai; (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol tersebut individu-individu mendefenisikan, mengekspresikan perasaan-perasaan dan membuat penilaian; (2) suatu pola makna-makna ditrasmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbol tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu prilaku simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ektrasomatik dari informasi; dan (4) karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami diterjemahkan dan diinterpretasi.[19]
Lebih jauh Geertz mengemukakan bahwa teori interpretatif menekankan arti penting partikularitas suatu kebudayaan dan berpendirian bahwa sasaran sentral kajian sosial adalah interpretasi dari praktek-praktek manusia yang bermakna. Teori interpretatif dihubungkan dengan konsep simbol, sehingga Geertz mengembangkan teori interpretatif dengan teori interpretivisme simbolik memandang manusia sebagai pembawa produk sekaligus subjek dari suatu sistem tindakan dan simbol yang berlaku sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan pengetahuan dan pesan-pesan simbol dan pedoman untuk bertindak dan berprilaku. Simbol menurut Geertz adalah objek, kejadian, bunyi suara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Simbol dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran dan fakta. Selain itu manusia memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi.[20]
Dari defenisi di atas, dapat dipahami kebudayaan didasarkan penafsiran dan melalui penafsiran tersebut manusia mengontrol sikap dan perilakunya, menjalankan suatu kebiasaan dan keyakinan yang didapat oleh individu dan masyarakat sebagai warisan yang diperoleh dan harus dijalankan, serta dinterpretasikan dalam kehidupan mereka. Aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh masyarakat, memiliki berbagai maksud dan mengandung makna. makna tersebut diinterpretasikan dalam berbagai bentuk kegiatan  manusia, bertolak dari realitas ini, antropolog menemukan makna bukan menginterpretasikan data yang empiris.[21]
Bagi masyarakat Tandikek pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah   dan Manjaguak Masak  merupakan wujud dari aktivitas anggota masyarakat yang menunjukan rasa berkabung  terhadap keluarga yang mendapat musibah kematian. Antara masyarakat banyak (Manjanguak Mantah) dengan  pihak bako, mempunyai aktivitas yang berbeda dilihat dari barang yang dibawanya ke rumah duka. Dalam aktivitas tersebut terdapat kegiatan yang mengandung simbol, sehinga dari simbol tersebut dapat diketahui makna aktivitasnya.
F.     Penjelasan Konsep
1.      Upacara Kematian
                 Upacara kematian adalah suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan  berhubungan dengan peristiwa kematian seseorang untuk menunjukkan perasaan berkabung.[22] Upacara yang dilakukan sesuai dengan adat dan kebiasaan dari masyarakat yang bersangkutan. Proses penyelenggaraan upacara kematian di Minangkabau pada umumnya terdiri atas memandikan, mengafani, menguburkan, dan mendoakan jenazah. Di Nagari Tandikek setelah empat dilaksanakan, diikuti pula dengan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak sebagai ungkapan rasa berkabung sebagai pranata dalam upacara kematian yang tetap berlangsung hingga kini.
2.      Manjanguak Mantah
                 Tradisi Manjanguak Mantah merupakan rangkaian upacara kematian yang dilakukan pada hari ke-14 setelah kematian. Manjanguak Mantah dalam penelitian ini  diartikan sebagai aktivitas individu yang datang ke rumah duka dengan membawa bahan makananan berupa beras keta, telur dan ayam kampung yang belum dimasak. Peralatan tersebut dimasukkan ke dalam bakul kemudian diantarkan secara adat ke rumah duka untuk dimanfaatkan dalam upacara kematian ke-14 di rumah duka.
3.        Manjanguak Masak
                 Manjanguak Masak adalah aktivitas  bako[23] yang datang ke rumah duka dalam peringatah hari ke-14 upacara kematian. Dalam konteks ini bako membawa makanan yang sudah dimasak (siap untuk disajikan) berupa nasi, lauk pauk dan lemang ke rumah duka. Setelah tiba di rumah duka makanan itu diserahkan kepada pihak duka. Kemudian bawaan pihak bako dan masakan yang berasal dari orang yang datang Manjanguak Mantah, dihidangkan untuk dimakan bersama. Sebelum makan terlebih dahulu dilakukan doa bersama yang ditujukan untuk orang yang meninggal, keluarga duka, dan orang yang hadir dalam upacara tersebut.
G.    Metodologi Penelitian
1.      Pendekatan dan Tipe Penelitian
                 Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.[24] Melalui penelitian ini penulis akan memperoleh informasi lebih luas dan mendalam tentang radisi Manjanguak Mantah  dan  Manjanguak Masak. Dalam penelitian ini peneliti berupaya memahami peristiwa secara alami sesuai dengan sewajarnya, maka disini terlihat bahwa antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti berinteraksi dengan baik tanpa ada rekayasa. Dilihat dari segi tipe penelitian ini termasuk  penelitian etnografi. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Malinoswki,[25]  etnografi bertujuan untuk memahami sudut pandang penduduk asli, hubunganya dengan kehidupan untuk mendapatkan padangan mengenai dunianya[26] dengan menggunakan deskriptif interpretatif untuk mendapatkan penjelasan yang lebih terperinci mengenai gejala sosial.
                 Penelitian etnografi ini digunakan untuk memahami tradisi Manjanguak Mantah   dan Manjanguak Masak secara alamiah dalam kontek masyarakat Tandikek menurut perspektif mereka. Untuk maksud tersebut interaksi antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti bersifat sewajarnya, tanpa direkayasa sehingga perspektif emik bisa dipertahankan. Inti etnografi adalah mencoba memahami makna perbuatan dan kejadian (dalam hal upacara Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak dalam upacara kematian) bagi masyarakat setempat menurut kebudayaan dan pandangan mereka.
2.      Lokasi Penelitian
                 Penelitian ini dilakukan di Nagari  Tandikek Kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman. Nagari ini dipilih karena satu-satunya nagari yang masih mempertahankan tradisi Manjanguak Mantah dan Majanguak Masak  di Kabupaten Padang Pariaman, bahkan ketika Nagari Tandikek diporak-porandakan oleh gempa bumi pada tanggal 30 September 2009, tradisi tersebut tetap dijalankan oleh masyarakat Tandikek. Kejadian itu mengingatkan bahwa tradisi Manjanguak Mantah dan Majanguak Masak  sangat urgen bagi masyarakat setempat.
3.      Pemilihan informan penelitian
                 Pemilihan informan dilakukan dengan sengaja (purposive sampling), dengan maksud, peneliti  memilih informan berdasarkan kriteria penelitian. Informan dipilih dengan mempertimbangkan bahwa mereka memiliki  pengetahuan luas atau berpengalaman dalam pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak. Teknik ini memungkinkan untuk dilakukan, karena peneliti sudah memahami pemetaan subjek yang diyakini  mengerti serta mengetahui tradisi ini. Informan yang menjadi subjek penelitian adalah masyarakat Tandikek yang terdiri dari Wali Nagari, Labai, tokoh adat, tokoh agama, dan orang yang melakukan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Setelah penelitian dilakukan, maka informan dalam penelitian ini berjumlah 34 orang, yang terdiri dari tiga orang pejabat kantor Wali Nagari, empat orang Datuak Panghulu Suku, tiga orang tokoh agama, empat orang yang melakukan Manjanguak Masak, dua orang yang melakukan Manjanguak Mantah, dua orang yang melakukan upacara kematian dan dua belas orang masyarakat biasa, satu orang dukun,  satu orang pemilik toko emas, dan satu orang mahasiswa. Informan sudah dianggap cukup karena tidak didapatkan lagi informasi baru tentang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak  dan sudah mampu menjawab permasalahan penelitian. Oleh karena itu penelitian sudah memungkinkan untuk diakhiri.
H.    Pengumpulan Data
                 Pada penelitian etnografi metode pengumpulan data yang utama adalah observasi partisipasi (participant observation) dan wawancara mendalam (indepth interview).[27]
1.      Observasi partisipasi
                 Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi partisipasi, dimana peneliti melihat dan mengamati secara cermat proses dalam upacara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Peneliti hadir di upacara kematian dan mengerjakan hal-hal yang memungkinkan seperti membantu memasak di rumah duka, tanpa menganggu kegiatan yang sedang berlangsung. Keikutsertaan peneliti dengan subjek yang diteliti berwujud dalam hubungan sosial dan emosional agar data yang diperlukan bisa didapatkan.[28] Seperti penelitian yang dilakukan di rumah Lambuak di Korong Galoro pada tanggal 12 Desember 2010. Peneliti ikut membantu aktivitas membuat lemang, membantu memasak guna persiapan untuk menjamu Urang Siak pada sore harinya. Pada awalnya peneliti sempat dimarahi oleh seorang nenek karena kecerobohan peneliti dalam melakukan aktivitas memasak di rumah duka.[29]Selanjutnya peneliti menemui informan tersebut di warung untuk meminta maaf guna mendapatkan data yang lebih detail.
2. Wawancara Mendalam (Indept Interview)
                 Wawancara yang dilakukan  adalah wawancara mendalam  (indept interview),[30] yakni wawancara informan telah mengetahui maksud dan tujuan peneliti dengan pertanyaan terbuka. Tujuan untuk melakukan wawancara ini adalah  untuk mendengar, mencatat, memahami, secara seksama dan mendetail tentang seluk beluk upacara Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak di Nagari Tandikek. Wawancara mendalam dilakukan kepada dua puluh tiga informan, yang dilakukan pada siang, sore dan malam hari. Selain itu, wawancara juga dilakukan disaat berada dirumah duka, dan di warung. Pertanyaan dikembangkan berdasarkan pedoman wawancara[31] yang dibuat sebelum terjun ke lapangan. Selanjutnya, jawaban dari informan digali dengan mengajukan pertanyaan mendalam, sehingga diperoleh informasi yang detil tentang tradisi Manjanguak Mantah dan  Manjanguak dari para informan. Melalui teknik tersebut bisa diperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis dan ilmiah.
I. Triangulasi Data
      Untuk mendapatkan data yang valid, maka dilakukan triangulasi data dengan menggunakan beberapa orang sumber data (informan) untuk mengumpulkan data yang sama. Cara yang dilakukan adalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap relatif sama terhadap informan untuk mengumpulkan data yang sama. Data dianggap valid setelah dicek ulang kepada informan yang berbeda. Data yang sudah valid kemudian dianalisis, sehingga dapat menjawab semua pertanyaan penelitian yang disiapkan dalam pedoman wawancara.
Selanjutnya triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan wawancara, kemudian peneliti membaca ulang data secara sistemik (tersusun) dan memeriksa berulang kali. Data dianggap valid jika data yang diperoleh sudah relatif sama dari sumber yang berbeda. Apabila dengan kedua teknik pengumpulan data tersebut menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti menggali informasi lebih dalam dan berdiskusi lebih lanjut dengan informan yang bersangkutan untuk memperoleh data yang dapat dianggap benar. Data dianggap valid jika didapat data dan informasi yang sama dari data penelitian sebelumnya.  
J.         Analisa Data
Analisis data dilakukan sejak awal penelitian dilaksanakan, karena yang diteliti adalah proses maupun produk dari proses. Untuk itu, dalam mengumpulkan data selalu dilengkapi dengan pembuatan catatan lapangan. Catatan lapangan bertujuan untuk mencatat informasi hasil wawancara, hasil pengamatan yang berhubungan dengan masalah penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis etnografi dari Clifford Geertz[32] dengan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Hermeneutik Data
Pada tahap hermeneutik data peneliti berusaha memperoleh sebanyak-banyaknya variasi data yang terkait dengan permasalahan penelitian. Peneliti memperoleh pengetahuan tradisi ini dimulai dari dasar pengetahuan orang-orang yang dikaji (the native). Selanjutnya dilakukan proses memerinci data, memeriksa data, membandingkan data, dan mengkategorikan data yang muncul dari hasil catatan lapangan mengenai tradisi Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak.  Hermeneutik data berlangsung terus menerus baik pada saat tahap pengumpulan data dan berlanjut terus sesudah penelitian lapangan sampai laporan akhir lengkap tersusun.
  1. Menginterpretasikan Data
Menginterpretasikan data dilakukan dalam upaya menemukan makna setiap simbol. Geertz mengungkapkan makna dalam masyarakat harus berasal dari ”native point of view.” Dengan demikian pada tahap ini dilakukan analisis hubungan antar kategori yang diperoleh dari hermeneutik data untuk kemudian disusun, diatur sesuai pokok permasalahan sehingga memudahkan menemukan makna pada setiap kategori.
  1. Interpretatif direpresentasikan
Interpretatif direpresentasikan sesuai  kenyataan  yang dipaparkan yaitu apa yang dipahami oleh pelaku budaya sehingga berakibat terhadap pemaparan berbagai ungkapan mengenai tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak  secara panjang lebar yang disebut dengan thick description atau deskripsi tebal. Sehingga dapat menggambarkan secara mendalam berbagai peristiwa dan berikut makna-makna yang terkandung di dalamnya. [33]
Tahap-tahap di atas merupakan sesuatu yang jalin menjalin, berulang dan terus-menerus selama dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, sehingga membentuk konfigurasi yang  utuh. Dalam penelitian ini peneliti memahami tradisi Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak dari sudut pandang masyarakat yang melaksanakannya, kemudian dari hasil memahami tradisi dari sudut pandang masyarakat maka selaku peneliti berupaya menemukan makna dan setelah itu selaku peneliti memaparkan hasil penelitian itu dengan teori yang relevan sehingga menjadi jelas. Berdasarkan hasil pemahaman inilah peneliti menyusun laporannya dalam bentuk skripsi, dimana di sini peneliti mengungkapkan makna serta kebertahanan  tradisi Manjanguak Mantah dan  Manjanguak Masak.



BAB II
GAMBARAN UMUM NAGARI TANDIKEK

A. Kondisi Geografis dan Demografis
Secara admistratif,  Tandikek merupakan salah satu nagari yang terdapat di Kecamatan Patamuan Kabupaten Padang Pariaman. Luas nagari ini adalah 50,13 km², terdiri dari 11 jorong yaitu:  Galoro dengan luas 3,09 km², Sarang Gagak dengan luas 1,65 km², Lareh Nan Panjang dengan luas 4,75 km², Pulau Aie dengan luas 6, 23 km², Lubuak Laweh dengan luas 3, 01 km², Paramantalang dengan luas 6, 32 km², Lubuak Aro dengan luas 8, 25 km², Lubuak Kumbuang dengan luas 3, 75 km², Pucuang Anam dengan luas 5, 45 km² , Kabun Pondok Duo dengan luas 2, 63 km², dan Sei Kasikan dengan luas 4, 01 km². Di antara 11 jorong, jorong yang paling luas adalah jorong Paramantalang seluas 6,32 km²[34].      
                 Menurut Arlis[35] Nagari Tandikek berasal dari  daerah Andiko Paramantalang, Niniak Mamak di Mudiak Padang,   dan  Urang Tuo Puncuang Anam. Pada daerah tersebut terdapat empat suku asli Nagari Tandikek yang dinamakan koto nan ampek sebagai berikut: Koto Nalah  dari suku Piliang, Koto Katiak dari suku Koto, Koto Padang dari suku Sikumbang, dan Koto Panjang dari suku Tanjuang. Wilayah Koto Nan Ampek ini diikat menjadi satu yang disebut “tahan diikek (tahan diikat)yang artinya empat suku ini tetap bersatu walau dalam situasi apapun dan tidak terlepas dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Lain hal yang dikatakan Datuak Palembang Basa,[36]sebelum masuknya islam ke Tandikek, adat dan agama berjalan sendiri-sendiri. Dahulu di Tandikek ada seorang yang bernama Kalik-kalik Jantan, konon kabarnya dia adalah kumbang-kumbangnya Cindue Mato yang beragama Budha yang lari ke gunung, sekarang dinamakan Gunung Tandikek. Kalik-kalik Jantan, ini mempunyai ilmu yang sangat tinggi semua orang tidak mampu untuk melawannya. Pernah suatu ketika Kalik-kalik Jantan ini diikat dengan kawat besi, namun kawat besi itu terlepas dengan kekuatan yang dimilikinya. Jadi masyarakat memberikan nama  “tahan diikat” yang merupakan asal kata dari Tandikek. Nagari Tandikek secara geografis berbatasan dengan:
Sebelah Utara              : Nagari Malalak Kabupaten Agam.
Sebelah Selatan           : Nagari Sei Durian Kecamatan Patamuan
Sebelah barat               : Batu Kalang dan Nagari Padang Alai kecamatan Padang                                         Sago dan Kecamatan V Koto Timur.
Sebelah Timur             : Nagari Guguk dan Nagari Kapalo Hilalang 2x11 Kayu                                             Tanam

Penduduk Nagari Tandikek berdasarkan data dari kantor walinagari tahun 2008 tercatat sebanyak 10.595 jiwa. Penduduk laki-laki terdiri dari 5.158 jiwa sedangkan sedangkan jumlah perempuan sebanyak 5.437 jiwa. Paska gempa pada tanggal 30 September 2009, yaitu Jorong Lubuak Laweh, Cumanak dan gunung Tigo[37] tertimbun longsor yang mengakibatkan banyak yang meninggal dunia sampai sekarang ini data jumlah penduduk belum  terakomodasi seluruhnya, diduga terjadi pengurangan jumlah penduduk pada tahun 2010.[38]Jumlah penduduk di Nagari Tandikek berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008 hal ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Penduduk Nagari Tandikek berdasarkan Jenis Kelamin
No.
Nama Jorong
Laki-laki
Perempuan
Jumlah

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Galoro
Sarang Gagak
Lareh Nan Panjang
Pulau Aie
Lubuak Laweh
Paramantalang
Lubuak Aro
Lubuak Kumbuang
Pucung Anam
Kabun Pondok Duo
Sei Kasikan

511
280
65
471
214
1.021
254
452
325
472
593
531
335
71
554
294
1.022
231
444
358
487
611
1.041
615
136
1.025
508
2.043
485
896
683
959
1.204
Jumlah
5.158
5.437
10.605
Sumber: Kantor Wali Nagari Tandikek 2008
                      Berdasarkan tabel 1. di atas, dari 11 jorong di Nagari Tandikek Jorong Paramantalang menempati posisi teratas dengan jumlah penduduk 2.043 jiwa, kemudian diikuti Jorong Galoro dan Sei. Kasikan dengan jumlah penduduk 1.025 dan 1.041 jiwa. Selanjutnya dikuti Jorong Pulau Aie dengan jumlah penduduk 1.204 jiwa.
                 Masyarakat Nagari Tandikek sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai petani. Hal ini disebabkan kondisi tanahnya yang subur dan sangat cocok sebagai daerah agrikultur. Selain sebagai petani, masyarakat Tandikek juga bergerak di bidang peternakan, seperti beternak ayam, kerbau dan sapi, jasa, perkebunan  kelapa, kakao, pinang, dan cengkeh. Selain sub sektor pertanian, perkebunan dan peternakan juga ada sektor industri kecil dan sedang yang juga mampu menopang perekonomian penduduk, seperti jenis usaha kerupuk kulit, jenis usaha pembuatan roti.
                 Selain usaha-usaha yang telah disebutkan, masyarakat Tandikek sebagian juga bekerja disektor perdagangan, transportasi, dan jasa. Di sektor perdagangan sebagian penduduk membuka warung-warung kecil-kecilan yang menjual barang kebutuhan sehari-hari (sembako). Hal ini cukup membantu masyarakat di sekitarnya jika tidak bisa berbelanja ke pasar.
                 Di Tandikek terdapat satu pasar tradisional (pasar mingguan) sebagai pusat jual-beli masyarakat Tandikek. Pasar tersebut merupakan sarana penting dalam kehidupan masyarakat Tandikek. Pada umumnya, hasil panen pertanian dan perkebunan dijual ke pasar ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Mayoritas penduduk masyarakat Tandikek hanya  tamat SD dan SLTP. Di samping itu, masih banyak penduduk yang masih buta huruf. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah masyarakat yang buta huruf adalah 1.431 jiwa. Di Nagari Tandikek terdapat 3 (tiga) buah SLTP Negeri, 10 (sepuluh) buah SD, TK sebanyak 2 (dua) buah, sedangkan SLTA tidak ada di Nagari Tandikek. Bagi anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA, terpaksa mereka harus bersekolah di Kota Pariaman dengan jarak tempuh lebih kurang 25 menit. Hal ini mempengaruhi keinginan bersekolah mengingat jauhnya jarak tempuh dan membutuhkan biaya yang besar. Berikut ini dapat kita lihat tingkat pendidikan masyarakat Tandikek.
Tabel 2. Tingkat pendidikan di Nagari Tandikek
No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Buta Huruf
Tidak Tamat SD
Tamat SD
SLTP
SLTA
D1
D2
D3
S1
S2
S3
1.431
1.800
3.000
2.500
1.734
15
20
25
75
5
-
Jumlah
10.605
Sumber: Kantor Wali Nagari Tandikek 2008                 
                 Wilayah Tandikek sebagian besar berbukit-bukit yang diisi dengan pekerbunan, pertanian dan sebahagian kecil yang digunakan sebagai areal pemukiman. Areal Pemukiman berupa perumahan dan perkarangan. Tempat tinggal penduduk terkonsentrasi dalam beberapa kelompok yang letaknya berpencar-pencar berdasarkan suku yang dimilikinya (segregasi). Pada umumnya mereka yang membuat rumah dan masing-masing kelompok adalah satu kerabat terdiri dari beberapa buah rumah. Kelompok-kelompok tersebut bukan untuk tujuan mengasingkan diri dari masyarakat lainnya, tetapi untuk tujuan pertanian dan peternakan.
                 Daerah pusat pemukiman terletak disepanjang jalan yang membelah pemukiman tersebut. Bentuk pemukimannya berderet-deret saling berhadapan antara satu bangunan dengan bangunan lainnya. Ada pula bangunan tersebut terdiri dari satu baris saja. Selain dari perumahan, dilengkapi pula dengan sarana ibadah mesjid, mushalla dan surau, sarana pendidikan, dan pemerintahan.
                 Rumah penduduk pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan semen, sebagian besar berupa rumah panggung. Pada saat sekarang sudah banyak terdapat rumah permanen yang terbuat dari semen dengan arsitektur yang disesuaikan dengan model dan selera yang lazim digunakan pada masa sekarang. Pada saat ini, sangat jarang masyarakat Tandikek yang mau membangun rumah yang terbuat dari kayu, umumnya jika membangun rumah sekarang masyarakat lebih meilih bangunan permanen yang terbuat dari semen.
          Pasca gempa pada tanggal 30 September 2009 di Nagari Tandikek  mengakibatkan sebagian kondisi rumah penduduk mengalami rusak berat. Hingga ini masyarakat masih ada yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan di samping reruntuhan rumah mereka, mendirikan rumah terbuat dari kayu yang sangat sederhana sekali. Masyarakat Nagari Tandikek sangat senang sekali karna dapat bantuan berupa rumah ukuran 4 m x 7 m dari Kanada sebanyak 900 unit rumah. Rumah ini diperuntukan bagi masyarakat yang rumahnya mengalami rusak berat.[39]          
          Sistem kekerabatan masyarakat Nagari Tandikek adalah matrilinial atau berdasarkan garis keturunan ibu. Dengan demikian, seorang anak secara otomatis termasuk dalam kerabat ibunya dan mempunyai hak atas harta pusaka kerabat ibunya. Seorang anak laki-laki apabila telah menikah akan bertemapat tinggal di rumah istri atau di lingkungan kerabat istri. Ia bestatus sebagai urang sumando  bagi kerabat istrinya.
          Prinsip keturunan matrilineal yang dianut oleh masyarakat Tandikek membawa implikasi terhadap tata hubungan dalam kekerabatan. Artinya, seseorang akan sering berhubungan dan merasa lebih dekat dengan kerabat ibunya, namun bukan berarti tidak akrab dengan keluarga ayahnya. Kerabat ayah yang lazim disebut bako, tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorang karena dalam hal tertentu bako mempunyai peran yang sangat penting, misalnya dalam upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Ada kewajiban-kewajiban secara adat yang mesti dijalankan oleh bako.
          Dalam hubungan kekerabatan, yang lebih tua mesti dihormati dan yang lebih muda disayangi. Orang yang lebih tua tidak boleh dipanggil dengan namanya saja, tetapi harus panggilan kehormatan sesuai dengan posisinya dalam kerabat, baik itu kerabat ayah maupun kerabat ibu[40]
          Hubungan sosial dalam kekerabatan masyarakat Nagari Tandikek tercermin dalam penggunaan istilah kekerabatan yang mereka gunakan. Istilah kekerabatan yang yang dimilki disesuaikan dengan kebiasaan tradisional dan masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun istilah kekerabatan yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Nama-Nama Panggilan Kekerabatan
Hubungan Kerabat
Panggilan
Ayah
Ibu
Saudara laki-laki yang tua
Saudara perempuan yang tua
Saudara yang lebih muda
Kakek
Nenek
Saudara laki-laki ibu
Saudara perempuan ibu
Saudara laki-laki ayah
Istri mamak
Kerabat ayah
Panghulu
Abak,
Amak
Udo, Ajo
Uni, elok, one, cik tam, cik uniang
Uncu
Uwo
Mak uwo
Mak dang, Mak ngah, Maetek
Etek, Ande
Apak
Mintuo
Bako
Mamak



B. Kehidupan Keagamaan dan Upacara


                 Penduduk Nagari Tandikek seluruhnya beragama Islam. Agama islam mereka anut secara turun temurun. Agama bagi masyarakat Nagari Tandikek memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu acara pesta maupun acara duka selalu diawali dengan doa-doa khusus, seperti yang dilakukan pada upacara kematian.
          Masyarakat Tandikek sebagian besar penganut tarekat syatariah. Di Nagari ini terdapat pondok pesantren yang anak didiknya tidak hanya berasal dari daerah tersebut, tetapi juga berasal dari luar daerah seperti dari Agam, Batusangkar, Padang Panjang dan daerah lainnya. Sarana-sarana ibadah yang ada di Nagari Tandikek adalah masjid, mushalla, dan surau. Masjid tercatat sebanyak 12 (dua belas) buah  sedangkan mushalla dan surau sebanyak 11 (sebelas) buah. Kegiatan  keagamaan yang biasa dilakukan masyarakat Nagari Tandikek adalah Jum’atan, pengajian umum, pengajian ibu-ibu, pengajian anak-anak, pengajian remaja, yasinan dan peringatan hari besar keagamaan.
          Masyarakat Nagari Tandikek merupakan penganut agama Islam yang taat. Meski demikian, masih sebagian penduduknya masih percaya dan meminta pertolongan kepada makhluk ghaib, berobat kedukun, tukang upeh, dan mempercayai hal-hal yang bisa mendorong seseorang pada kesyirikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor ekonomi. Mahalnya biaya berobat ke dokter, membuat masyarakat lebih memilih berobat kedukun yang relatif lebih murah.
          Masyarakat Tandikek segala sesuatu dikaitkan dengan magis. Hal ini terlihat dalam berbagai aktifitas seperti bidang pertanian, perdagangan, dan pengobatan. Di bidang pertanian dikenal beberapa ritual mulai dari proses menanam padi sampai panen. Ritual tersebut diwujudkan dalam bentuk upacara, seperti upacara Manabuah Baniah ( tujuan supaya benih mendatangkan hasil yang baik nantinya), upacara Mamintak Ubek Padi (tujuan supaya padi yang mulai berbuah terhindar dari hama dan penyakit), serta upacara Maambiak Padi (upacara sebelum panen), dengan mengambil beberapa tangkai padi lalu ditumbuk menjadi beras dan dicampur dengan beras sisa panen sebelumnya, untuk kemudian dimakan bersama dalam acara yang dinamakan Mamakan Hulu Tahun/ memakan beras baru. Pemanfaatan hal-hal yang bersifat magis juga ditemui di bidang perdagangan. Ini terlihat dari ritual yang dilakukan pedagang untuk Maureh lapau atau  Maureh Kadai (menyebarkan ramuan yang diminta kepada dukun, di sekeliling tempat usaha) atau dengan memasang jimat dan benda-benda lain yang diberi dukun di tempat usaha tersebut dengan harapan dagangan menjadi laris, begitu juga dalam hal pengobatan. Berbagai ragam penyakit yang menimpa masyarakat dicari penyembuhannya dengan bantuan kekuatan magis (melalui dukun)[41]
Aktivitas adat istiadat sebagai salah satu wujud kebudayaan mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan semua suku bangsa. Adat istiadat direfleksikan melalui unsur religi dalam sistem kepercayaan keagamaan. Upacara keagamaan atau rites adalah kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku.
Upacara keagamaan dalam kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting untuk mencapai tujuan hidupnya. Seperti yang dikemukakan oleh Preusz, bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang ada di dunia ini adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggap berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu, manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidup baik yang bersifat material maupun spiritual.[42] Adapun tradisi yang dijalankan masyarakat Tandikek sebagai berikut .
1.      Bulan Sumbareh
               Merupakan salah satu bulan untuk membuat sumbareh. Sumbareh adalah sejenis makanan rakyat yang terbuat dari tepung beras. Makanan ini akan di bawa ke rumah ipar, besan, dan keluarga lainnya. Makanan ini juga dibuat dalam rangka mendoakan anak-anak yang telah meninggal dunia yaitu sebagai makanan yang disajikan untuk melakukan aktivitas berdoa. Bulan sambareh jatuh pada bulan Rajab, merupakan bulan yang baik untuk mendoakan anak-anak yang telah meninggal dunia. Pada bulan Rajab ini masyarakat membuat Sumbareh dan mendoakan yang telah meninggal dunia[43].
2.    Bulan Lamang (Malamang)
                  Malamang suatu tradisi yang dilakukan dalam bulan Syakban. Pada bulan Syakban ini masyarakat Tandikek membuat Lamang (lemang) yaitu makanan yang terbuat dari berasa ketan yang dimasak dalam ruas bambu. Tradisi ini bertujuan untuk mendokan arwah nenek moyang terdahulu, yaitu untuk mengenang mereka serta ucapan maaf keluarga kepada orang yang telah meninggal tersebut, karena keluarga yang bersangkutan akan menjalankan ibadah puasa.
3.    Bulan Mauluik ( Maulid Nabi Muhammad SAW)
          Tradisi Mauluik  dilakukan oleh masyarakat Tandikek dalam rangka merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan membuat makanan diantaranya nasi Jamba¸ lemang, dan kue-kue kecil lainnya. Makanan ini dibawa ke masjid dan surau-surau. Dalam melaksanakan Mauluik dilakukan Bazikie (berzikir), Bakayaik (berhikayat), dan melakukan pelelangan kue-kue dan nasi Bajamba yang dibawa oleh setiap masyarakat ke surau-suru tersebut.
4.      Tradisi Basapa
          Basapa  merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Tandikek pada bulan Syafar. Tradisi ini dalam rangka memperingati kematian Syekh Burhanuddin yang bertepatan pada tanggal 10 Syafar. Syekh Burhanuddin salah seorang tokoh penyebar agama Islam yang menyebarkan Islam pertama di Pariaman. Syekh Burhanuddin sangat disegani dan dihormati sehingga makamnya pun dikeramatkan oleh masyarakat. Adapun yang aktivitas di makam tersebut seperti Sembahyang 40, mancabiak kain tirai makam, berzikir, dan mencuci muka dengan air kerang yang terdapat di makam. Makam Syekh Burhanuddin  tidak hanya ramai dikunjungi oleh orang dari Pariaman, bahkan dari luar daerah seperti Padangpanjang, Padang, Payakumbuah, Sijunjung, dan tidak sedikit di antara mereka juga berasal dari Propinsi Jambi, Aceh, Riau, dan Bengkulu.
5.      Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
           Sejak dahulu sampai sekarang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak pada waktu upacara kematian masih dipertahankan oleh masyarakat Tandikek. Tradisi ini dilakukan ketika empat belas hari setelah jenazah dikuburkan. Bukti kebertahanannya yaitu ketika gempa pada tanggal 30 September 2009 masyarakat masih melakukan tradisi tersebut walau terjadi bencana alam sekalipun.
           Sejarah asal usul tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak, tidak diketahui lagi secara pasti, karena selain tidak ada ditemukan literatur tentang sejarah asal-usul adanya tradisi ini, tokoh-tokoh pemuka masyarakat dan masyarakat Tandikek juga tidak mengetahui lagi tentang sejarah asal-usul tradisi tersebut. Sangat sedikit sekali informasi yang bisa diperoleh mengenai sejarah asal-usul manjanguak ini di Nagari Tandikek menurut Bagindo Sutan[44]
Katiko islam alun masuak ka tandikek ko lai a, nan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak ko lah ado juo  sajak dahulu e, sajak jaman inyiak-inyiak wak dulu. Manjanguak Masak dari pihak bako namoe nan datang dari anggota keluarga yang maningga, nan Manjanguak  Mantah ko mode awak-awak ko a, mode ughang-ughang kabanyakan.

                        (Ketika agama Islam belum masuk ke Tandikek, Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak sudah ada sejak dahulu, sejak zaman nenek moyang kita dahulu. Manjanguak Masak adalah orang yang datang dari pihak bako keluarga yang meninggal, kalau yang Manjanguak  Mantah ini seperti orang kebanyakan yang kenal dengan keluarga duka).

                 Hal tersebut juga dinyatakan oleh Baruah[45]

                        ….. Sajak dahulu nan manjanguak mantah dan masak ko lah ado juo, walau awak lah ditingga mati, nan hubungan awak jo keluarga maningga ko ndak putuih tatauk salamonyo, mangkonyo awak mambawo sesuatu ka rumah urang yang maningga tu katiko manduo kali tujuah kalo ndak ma ampek puluah hari, soal e ughang banyak nan tibo…a nan bako dari keluarga maningga ko manjanguak masak ko.

                        (….Sejak dahulu yang namanya Manjanguak Mantah dan masak ini sudah ada, walaupun kita sudah ditinggal mati, namun hubungan kita dengan keluarga yang meninggal tidak putus. Maka dari itu kita membawa sesuatu ke rumah duka. Upacara ini dilakukan ketika empat belas hari setelah kematian, semua warga diundang, termasuk pihak bako (Manjanguak Masak).
                
Dari penjelasan informan di atas, tidak dapat diketahui secara jelas bagaimana sejarah asal-usul tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Hal yang bisa diketahui dari pernyataan Bagindo Sutan dan Baruah tersebut adalah Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan peninggalan nenek moyang orang Tandikek.
          Pernyataan informan di atas menunjukkan bahwa meskipun  seseorang telah meninggal, hubungan antara keluarga almarhum dengan pihak bako tidak terputus. Oleh sebab itu, pihak bako membawa sesuatu ke rumah duka saat manjanguak. Menurut Nottingham bahwa kepercayaan terhadap kematian dan kehidupan akhirat tentu tidak menghapuskan peristiwa kematian itu namun ia dapat membantu orang menghadapinya dan melayani masyarakat mereka dengan lebih baik ketika sedang menghadapi kematian.[46]Begitu juga masyarakat Tandikek, hubungan mereka tidak putus dengan keluarga yang ditinggalkan, namun pada saat kematian  waktu yang tepat untuk saling membantu satu sama lain.



BAB III
MANJANGUAK MANTAH DAN MANJANGUAK MASAK DALAM UPACARA KEMATIAN DI NAGARI TANDIKEK

Pada masyarakat Nagari Tandikek, adat istiadat yang mengatur pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan kompleksitas ide-ide, nilai-nilai dan norma-norma yang ada dan berlaku pada masyarakat Nagari Tandikek yang diperoleh dari pengetahuan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ini bersifat abstrak, tidak dapat dilihat maupun diraba melainkan berada diantara individu dalam masyarakat. Pada proses pelaksanaan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan tingkah laku masyarakat yang merupakan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan adat dan tata kelakuan. Itulah yang dapat diamati, sebagai perwujudan dari pengetahuan masyarakat tersebut.

A.    Proses Pelaksanaan Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
                 Pada bulan Juli tahun 2010 peneliti sudah mulai melakukan observasi  tentang tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak di Nagari Tandikek  Jorong Galoro dan Paramantalang. Keberadaan peneliti diketahui oleh masyarakat yang melakukan tradisi ini. Peneliti ikut dalam aktivitas yang dilakukan di rumah duka. Tradisi ini merupakan bentuk ungkapan rasa berkabung yang dilakukan oleh individu-individu yang datang ke rumah duka dengan membawa bakul yang berisi telur 10 sampai 20 butir, beras ketan, dan ayam kampung. Semua itu dibawa oleh warga setempat untuk melakukan Manjanguak Mantah ke rumah duka, yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak keluarga duka. Di sisi lainnya pihak bako dari keluarga duka datang yang disebut dengan Manjanguak Masak, yakni membawa lemang, nasi bajamba, serta lengka dengan lauk pauknya.
1.      Waktu Pelaksanaan
                 Dalam rentetan upacara kematian ada yang dinamakan manamaik hari (1 hari), manigo hari, manujuah hari. Selama 7 hari setelah kematian ini orang yang datang manjanguak tidak dibolehkan makan dan  minum di rumah duka. Hal ini dianggap akan memberatkan keluarga duka dan Islam juga menganjurkan tidak boleh makan ataupun minum di rumah duka.[47] Untuk tidak melanggar ajaran agama, masyarakat mengantisipasi dengan menyediakan makanan dan minuman untuk keluarga duka maupun untuk orang-orang  yang datang manjanguak oleh tetangga dari keluarga duka tersebut, walaupun bahan-bahannya tetap dari keluarga duka. Hal ini menunjukkan tolong menolong antar tetangga di waktu duka.[48]
                 Pelaksanaan Manjanguak Masak dan Manjanguak Mantah dilakukan pada saat manduo kali tujuah (14 hari setelah kematian) di rumah duka. Pada waktu itu menurut anggapan warga setempat waktu yang baik untuk melakukan manjanguak, kerena suasana di rumah duka tidak lagi larut dalam kesedihan mendalam atas meninggalnya salah seorang anggota keluarganya.[49] Oleh karena itu tidak menjadi masalah dengan melakukan upacara yang diikuti dengan makan dan minum bersama. Tiga hari sebelum melakukan upacara tersebut, keluarga duka mengundang seluruh warga masyarakat  nagari secara lisan atau melalui telepon kepada ipar, besan, serta bako agar untuk datang pada waktu yang telah ditentukan. Ini berarti keluarga yang kemalangan tidak lagi merasa sedih yang berlebihan, berbeda dengan suasana ketika tiga hari atau tujuh hari setelah kematian. Berikut dinyatakan oleh Lambuak[50] (orang yang melakukan upacara kematian) yang juga dibenarkan oleh Kartini.[51]
biaso e manjanguak mantah dan masak kodiadoan katiko manduo kali tujuah. Mangko hari ko diadoan ughang atau kelurga nan ditinggaan ko ndak baibo hati na lai doh ndak sedih na lai doh…kalo sabaalun e yo alun bisa malapeh an ughang nan pai dari rumah tu lai doh, nan maningga tu.”


(“Biasanya orang mengadakan manjanguak masak dan mantah ketika empat belas hari. Hari ini dipilih karena keluarga yang ditinggalkan tidak lagi bersedih. Pada waktu tiga hari dan tujuh hari kematian mereka masih berhiba hati, mereka belum bisa menerima kenyataan.”)


                 Hingga kini waktu yang dianggap baik untuk melaksanakan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak adalah empat belas hari setelah jenazah dikuburkan. Pada saat itu memungkinkan untuk melakukan makan bersama di rumah duka. Walaupun begitu, akhir-akhir ini waktu yang dianggap baik untuk melakukan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak tidak selalu tepat pada hari ke-14 hari setelah kematian, melainkan memilih waktu di sekitar hari ke-14, misalnya hari ke-12 ataupun hari ke-16 setelah kematian.[52]
                 Pemilihan hari atau waktu ini sekarang dihubungkan dengan hari libur kerja. Hal ini dilakukan, karena sebagian masyarakat dan terutama jika kerabat  pihak yang kemalangan tersebut banyak yang bekerja  di luar Nagari Tandikek. Jika diadakan pada hari libur kerja, mereka berpeluang untuk hadir dalam upacara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak tersebut. Seperti yang diungkap oleh oleh Syahrial Yazid dan dibenarkan oleh Gadih berikut ini.[53]
   “…mangaji kamatian ko, ndak harus tapek wakatu doh, paliang beda dua hari dari hari nan tapeknyo, kalau lah salasai dirundiangan dek mamak, baru diadoan mangaji dek keluarga yang maningga koh atau dek anak-anak-anak yang telah bekeluarga”

(“…upacara kematian ini tidak harus tepat waktu diadakan, kadang-kadang beda 2 hari dari waktu yang telah ditentukan, setelah selesai dirundingkan oleh mamak, baru diadakan upacara tersebut oleh keluarga atau anak-anak yang telah berumah tangga...”)




                 Dari kutipan di atas, terungkap bahwa akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran waktu dalam melakukan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Kini tradisi itu tidak harus tepat di hari yang ke-14, melainkan bisa dilaksanakan pada satu hari yang dipilih disekitar hari ke-14, dua hari sebelum dan sesudahnya. Tujuannya tidak lain agar sebagian besar anggota keluarga (orang se-suku, bako, dan besan) maupun masyarakat di nagari bisa hadir. Hal ini disebabkan karena telah mulai beragamnya pekerjaan, sehingga berdampak terhadap pelaksanaan tradisi tersebut dalam masyarakat setempat.
                     
2.      Tempat Pelaksanaan
                 Manjanguak Masak dan Mantah ini dilakukan di rumah duka. Sebelum mengundang orang yang pergi Manjanguak Masak dan Mantah keluarga duka terlebih dahulu menentukan tempat pelaksanaan upacara 14 hari almarhum/ almarhumah. Semua anggota keluarga berkumpul untuk menentukan hari yang tepat. Sebagai contoh yang terjadi pada keluarga almarhumah Angah Sunan, semua anak-anaknya berkumpul di rumah duka untuk  menentukan di rumah anak yang manakah upacara 14 hari orang tua mereka diadakan. Apakah di rumah anak pertama, kedua, ataupun ketiga, karena mereka memiliki rumah masing-masing dan semuanya sanggup untuk melakukan upacara tersebut. Tempat upacara lazimnya dilakukan di rumah anak perempuan, tetapi tidak tertutup pula kemungkinan dilakukan di rumah anak laki-laki. Ini disebabkan karena anak perempuan merupakan penerus garis keturunan matrilineal dari almarhum jika yang meninggal dunia adalah ibu, sedangkan jika yang meninggal dunia adalah bapak maka pelaksanaan manjanguak masak dan manjanguak mantah bisa dilakukan di rumah anak perempuan maupun anak laki-laki.[54] Dari penelitian yang dilakukan ternyata pelaksanaan upacara ini bisa saja dilakukan di beberapa rumah dari anak orang yang meninggal dunia, baik anak laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu upacara manjanguak mantah dan manjanguak masak bisa saja dilakukan 2 sampai 3 kali terhadap seorang yang meninggal dunia dalam selang waktu 5 hari atau 10 hari setelah hari ke-14, seperti yang diungkapkan Rakibah:[55]
“…Mangaji kamatian sabalunyo labiah dulu ditantuan tampeknyo dima e lu, diadakan barundiang e lu, oleh keluarga yang ditingga. Sudah tu baru diadoan mangaji e lai.. e nan mangaji ko bisa sajo 2-3 kali gai dek anak-anak yang maningga ko, tagantuang mampu tau indak enyo maadoan mangaji koh…”

(“…upacara kematian sebelumnya terlebih dahulu ditentukan dimana tempatnya pelaksanaanya, dilakukan perundingan  terlebih dahulu oleh kelurga duka, setelah itu dilakukan upacara 14 hari. Upacara ini biasanya 2-3 kali diadakan oleh anak-anak dari orang yang meninggal, tergantung sanggup atau tidaknya mereka melaksanakan…”)


                  Berdasarakan data dari informan terlihat bahwa sebelum melakukan upacara kematian telebih dahulu dirundingkan untuk menentukan dimana tempat pelaksanaannya, apakah itu dilakukan di rumah masing-masing anak dari almarhum atau di “rumah gadang” ( rumah orang tua) saja. Lazimnya upacara ini dilakukan di rumah anak perempuan, tetapi tidak tertutup kemungkinan dilakukan di rumah  anak laki-laki.

3.    Perlengkapan yang Dibawa ke Rumah Duka
                 Perlengkapan yang dibawa oleh orang yang datang Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak diyakini masyarakat sebagai ungkapan rasa berkabung dan membantu pihak yang tertimpa musibah kematian. Adapun perlengkapan yang dimaksud sebagai berikut :
a.       Ayam Kampung, Beras dan Telur (dibawa oleh orang yang Manjanguak Mantah)
            Ayam kampung, beras, dan telur dimasukkan ke dalam bakul yang dibungkus dengan kain warna putih. Warna putih sebagai simbol kebersihan, dan kesucian, jadi orang yang membawa perlengkapan itu dalam keadaan hati yang bersih, dan sebagai tanda penghormatan terhadap keluarga duka yang mendapatkan musibah.[56]
             Selanjutnya bakul yang berisi ayam kampung, telur dan beras ketan tersebut dibawa ke rumah duka. Setelah tiba di rumah duka, bawaan tersebut dimasak di rumah duka. Orang yang datang Manjanguak Mantah lebih cepat datang ke rumah duka, karena perlengkapan yang dibawa tersebut akan dimasak di rumah duka.[57] Tidak semua perlengkapan itu  dimasak di rumah duka, sebab tuan rumah terlebih dahulu harus memperkirakan berapa banyak tamu yang datang. Oleh sebab itu jika barang bawaan orang yang datang banyak jumlahnya dan berlebih dari kebutuhan upacara, maka barang-barang tersebut bisa dijual oleh keluarga duka.[58]
            Perlengkapan yang dibawa ketika Manjanguak Mantah merupakan perlengkapan yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik itu di warung-warung, ataupun di pasar karena perlengkapan tersebut merupakan kebutuhan sehari-hari.[59]Perlengkapan seperti ayam sebagai symbol dari orang yang meninggal. Kalau orang yang meninggal adalah laki-laki maka ayam yang dibawa adalah ayam kampung yang betina, sedangkan yang meninggal dunia dalah perempuan maka ayam yang dibawa ke rumah duka adalah ayam betina.[60]Ayam dianggap sebagai symbol bagi orang yang meninggal dunia laki-laki atau perempuan. Perlengkapan yaitu  beras merupakan symbol kemakmuran bagi masyarakat, karena  beras merupakan makanan pokok, sedangkan beras ketan yang nantinya digunakan untuk bahan pembuat lemang. Lemang tersebut diumpamakan batang tubuh dari orang yang meninggal.[61]

b.      Makanan dan lauk pauk (dibawa oleh bako/Manjanguak Masak)
            Makanan dan lauk pauk[62] yang telah dimasak yang dibawa oleh bako ke rumah duka dimaksudkan untuk menjadi makanan pada saat makan bersama dengan Urang Siak. Makanan dan lauk pauk yang telah dimasak itu porsinya lebih banyak yang dibawa oleh pihak bako lengkap dengan Induak Samba.[63] Makanan yang dimasak sebagai simbol bahwa pihak bako mempunyai hubungan dekat dengan keluarga duka. Selain itu memperlihatkan kepada semua tamu yang datang bahwa bako pandai memasak. Oleh karena itu pada saat dilakukan makan bersama diharapkan banyak mendapatkan pujian dari tamu lain yang datang terhadap makanan yang dihidangkan tersebut. Bako akan merasa tersanjung apabila masakan yang dibawa ke rumah duka mendapatkan pujian oleh orang mencicipi masakan tersebut.

c.        Lemang
            Lemang adalah sejenis makanan yang terbuat dari beras ketan dan santan kelapa, dibungkus dengan daun pisang yang dimasukkan ke dalam bambu kemudian dibakar. Lemang ini tidak hanya dibuat oleh keluarga duka, tetapi juga dibawa oleh orang yang Manjanguak Masak. Lemang yang dibuat oleh keluarga duka berjumlah sekitar 150 sampai 200 batang yang nantinya akan dibagi-bagikan terhadap tamu yang datang, sedangkan bagi orang yang datang Manjanguak Masak (pihak bako) cukup membawa 5 sampai 10 batang lemang sebagai pelengkap makanan siap saji dari pihak bako. Lemang dalam upacara ini merupakan sebagai simbol dari kematian, dan dimaknai sebagai tongkat untuk membantu almarhum/almarhumah berjalan menuju ke sorga.[64]

4.    Pelaksanaan Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
a.   Persiapan Sebelum Pergi ke Rumah Duka
                 Beberapa hari sebelum acara, warga masyarakat menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa ke rumah duka. Ada yang membawa 10 sampai 15 butir telur ayam, satu ekor ayam kampung, beras ketan tiga liter, beras picarai[65] tiga sampai empat liter. Segera sebelum berangkat benda-benda tersebut dimasukkan ke dalam bakul, kemudian dibungkus dengan kain putih. Semua bawaan  itu dibawa oleh orang yang melakukan Manjanguak Mantah ke rumah duka. Untuk Manjanguak Masak dilakukan oleh bako. Bako membawa sesajian yang telah dimasak seperti nasi, lauk pauk, dan nongkopi.[66]
Untuk mendapatkan semua perlengkapan itu, ada warga  yang memiliki persediaan di rumah masing-masing. Sementara  bagi mereka yang tidak memiliki persediaan terpaksa meminjam ataupun membelinya. Mereka yang miskin secara ekonomi, biasanya meminjam beras atau uang kepada tetangga. Bagi warga setempat yang penting harus membawa perlengkapan yang lazim diberikan kepada keluarga duka. Seperti  diungkapkan  oleh Mariani[67] sebagai berikut:
Dalam saminggu ko a, uniang lah tigo kali pai manjanguak mantah ka umah ughang kamatian, paniang lo uniang dibuwek e kapatang tu, tu tapaso maminjam bagheh lai ka umah sabalah, kalau ndak pai wak sagan lo, apolo kecek ughang beko.

(Dalam satu minggu ini, sudah tiga kali uniang pergi manjanguak mantah ke rumah  kematian, waktu  tu sempat pusing kepala uniang, karena tidak ada lagi persediaan yang dimiliki, terpaksa  meminjam beras ke tetangga sebelah, kalau tidak pergi ke rumah orang kematian itu, apa kata orang nanti.)

Demikian juga diungkapkan oleh Zuriati[68] yang sehari-sehari dipanggil One Zuriati[69] yang melakukan Manjanguak Masak ke rumah Mintuo.
“…Wakatu one manjanguak masak nan kapatang tu, untuak mambali nan kadimasak tu, one yo bautang dibalai, di tampek langganan biaso e. Pitih yang ditangan ndak do doh, urang alun lo panjek kambie lai…”
(… waktu manjanguak masak kemaren, untuk membeli perlengkapan yang akan dibawa, saya melakukan pinjaman di pasar, di tempat langganan biasanya. Uang ada di tangan tidak ada, kelapa yang akan dijual belum waktunya untuk panen…)

                 Berdasarkan hasil wawancara di atas, terlihat  untuk pergi Manjanguak Mantah ada warga meminjam kepada tetangga. Pinjaman tersebut berupa beras kepada tetangga dan bahkan ada berhutang beras di warung di pasar, kerena persediaan dana yang tidak mencukupi. Di samping itu masyarakat tidak saja melakukan pinjaman bahan makanan untuk Manjaguak Masak, tetapi juga melakukan peminjaman atau penyewaan  emas untuk dipakai ke rumah duka. Itu semua bertujuan untuk memperlihatkan kepada keluarga duka, kalau mereka merupakan keluarga yang berada atau mampu. Seperti kutipan wawancara peneliti dengan Mardianto.[70]
Peneliti      : manga ibuk tadi tu nto………..?
                  (ada apa dengan ibuk tadi nto…….?)
Anto          : oooohh………..ibuk tu, nyo maminjam ameh mah…(peneliti terkejut dan heran mendengar ucapan dari pemilik toko tersebut) iyo biaso e banyak juo urang yang meminjam ameh ka siko nyoh untuak dipakai pai baralek jo kematian. Tapi ibuk nan tadi keceknyo untuak pai manjaguak masak di tampek kematian.
 (ohhh….ibuktu, dia meminjam emas…(peneliti terkejut dan heran mendengar ucapan dari pemilik toko tersebut) biasanya banyak orang yang datang kesini untuk meminjam emas untuk dipakai ke pesta  perkawinan, kematian).
Peneliti      : oohh……….baa lo caghoe tu……?
                  (oohh………. Bagimana pula caranya tu….?
                  Anto          : banyak macam jaminan e bisa STNK dan surek umah gai…..biaya paminjaman e tagantuang bara hari nyo jo bara banyak ameh yang nyo mintak, kalau ibuk yang tadi nyo minjam salamo 2 hari harago e Rp. 200.000 (dua ratus ribu) amehnyo sebesar 5 (lima emas).
(banyak macam, jaminanya bisa STNK dan kadang surat rumah….biaya peminjamnya tergantung berapa banyak emas yang mereka pinjam, kalau ibuk tadi dia meminjam emas sebesar lima emas selama dua hari  dengan harga Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah).
Peneliti     : ooo……mode tu yo..? lai banyak ughang pai meminjam ameh untuak pai ka tampek kematian ka toko anto ko….?
 (oooo….seperti itu..?apakah sering orang meminjam emas untuk pergi ke tempat kematian nto…?)
Anto         : Kadang ndak manantu doh……..
Peneliti     : oo..makasih yo nto……
                                       (oo.. terima kasih yo nto…..)
                 Peminjaman emas yang dilakukan pada waktu pesta perkawinan, tetapi juga dalam upacara kematian. Emas pinjaman yang dipakai terlihat bahwa dipakai disetiap keramaian, baik itu pesta perkawinan ataupun upacara kematian. Semua itu mereka lakukan untuk menghindari  rasa malu terhadap keluarga duka atau sindiran dari orang-orang yang berada di rumah kematian tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Sarinam.[71]
“Kalo ndak mambawo pambawoan[72] ko, malunyo koh yang ndak tahan a, beko nyo otaan awak beko tu mah, kalo ndak nyo sindie-sindie awak di tampek kamatian tu dek urang yang ado disinan . Soal e ambo pernah di modean tu dek urang, wakatu pai manjanguak”
(”kalau tidak membawa pembawaan itu, malunya ini yang tidak tertahankan, nanti kita dibicarakan, atau mereka berikan sindiran kepada kita. Saya pernah mengalami seperti itu”)
Hal senada juga diungkapkan oleh Jaruni[73]
Wakatu datangnyo gampo di kampuang awak ko, ambo pai manjanguak ka umah ughang acok ba utang sajonyoh dari bareh, talua, ayam. Soal e kalau ndak mambaok, malu ambo dek ughang yang ado di umah duka tu beko dikecek-kecekan ambo ko pilik dek ughang”  
(Waktu  gempa melanda kampung kita, saya pergi menjenguk ke rumah orang kematian , untuk mendapatkan perlengkapan yang akan dibawa, saya sering berhutang. Seperti berhutang untuk membeli beras, telur, dan ayam. Sebab kalau tidak membawa, malu saya sama orang yang ada di rumah duka itu, nanti saya dikataka pelit.)

            Berdasarkan penuturan di atas terlihat begitu pentingnya pembawaan yang dibawa ke rumah duka, untuk menghindari perkataan-perkataan yang menyindir yang tidak enak didengar, seperti bisa saja dikatakan pelit. Pada dasarnya jumlah barang bawaan tidak ditentukan, namun karena merasa segan terhadap keluarga duka, ataupun orang yang berada di rumah kematian, maka pembawaan untuk manjanguak diusahakan seada mungkin. Begitu juga dengan peminjaman emas, dengan tujuan memperlihatkan kepada keluarga duka dan tamu yang datang kalau mereka mampu dan orang yang berada di tengah-tengah masyarakat.[74] Makna pembawaan pada waktu manjanguak  merupakan sebagai bentuk kepedulian terhadap keluarga duka seperti yang diungkapkan Datuak Palembang Basa,[75] “bajalan babuah batih, malenggang babuah tangan (berjalan berbuah betis, melenggang berbuah tangan). Tegasnya orang yang manjanguak tersebut akan merasa malu apabila datang dengan tangan kosong. Seperti penuturan  Sarinam[76] berikut ini:
“Pambawoan ko yo harus, ndak bisa ndak doh, ba a k caronyo lah, kok ndak do punyo, tu tapasaso dipinjam lai, ka umah sabalah.biasaonyo apo yang dipinjam tu, itu lo yang dbaliak an baliak. Kalo maminjam bareh dibaliak an lo bareh baliak.Iko ko dilakuan supayo awak ndak malu dek urang, ndak mungkin pai malenggang e ka rumah urang doh.”

(“Pembawaan ini harus ada, tidak bisa tidak,  termasuk berhutang kepada orang lain atau kepada tetangga. Biasanya apa yang dipinjam itu yang dikembalikan lagi, misalnya pinjam beras ya harus diganti dengan beras. Ini dilakukan supaya kita tidak malu sama orang yang berada di rumah duka, tidak mungkin pergi ke rumah duka tidak membawa apa-apa.)
\
            Setelah perlengkapan yang akan dibawa ke rumah duka disediakan, maka pihak bakopun melakukan persiapan. Adapun persiapan-persiapan yang dilakukan pihak bako yang pergi Manjanguak Masak; Pertama memanggil orang-orang yang akan  diajak untuk pergi Manjanguak Masak dengan cara mendatangi rumah mereka masing-masing. Kedua, mempersiapkan makanan yang akan dibawa pada saat Manjanguak Masak di rumah masing-masing. Makanan yang dibawa adalah lemang, yang biasanya dibuat 1 (satu) hari sebelum acara Manjanguak Masak. Demikian juga dengan kue-kue kering, sudah dibuat beberapa hari sebelum pergi Manjanguak Masak. Sementara lauk pauk, nasi, kue backing serta masakan lainnya dibuat di rumah pihak bako dan lazimnya dimasak pagi sampai siang hari segera sebelum  pelaksanaan upacara Manjanguak Masak seperti yang diungkapkan oleh Janulis.[77]
“…kalau samba-samba goreang, lamang dimasak sahari sabalunnyo, samba-samba nan basantan, nasi dimasak dari pagi sampai tangah  hari…”
     (“…Kalau lauk pauk goreng, lemang dimasak satu hari sebelumnya, lauk pauk yang memakai santan dan nasi dimasak dari pagi sampai siang hari…”)

Hal yang sama juga dibenarkan oleh Sine[78]
“…masakan-masakan jo makanan-makanan nan dibaok wakatu manajnguak masak tu dimasak atau disiapkan wakatu pagi hari manjanguak tu, soale sebagian besar manakan ko jo masakan tu capek hasan dan indak bisa bamalam doh…”
(…masakan-masakan dan makanan-makanan yang dibawa waktu manjanguak masak tersebut dimasak atau disiapkan pada pagi hari manjanguak tersebut, karena sebagian besar makanan dan masakan tersebut cepat basi dan tidak bisa untuk bermalam…)

                 Oleh sebab itu Manjanguak Masak ini biasanya diadakan pada sore hari, yaitu setelah shalat zuhur atau menjelang shalat Ashar sekitar pukul 15.00 WIB. Selain alasan tersebut, keberangkatan Manjanguak Masak  jika dilakukan pada pagi hari atau siang hari cuacanya panas, sedangkan bawaan yang harus dibawa cukup berat, dan orang yang berada di rumah duka belum selesai memasak seperti yang diungkap oleh Sine.
“…kalau  Manjanguak Masak tu diadokan wakatu pagi atau tangah hari, biasonyo hari angek, latiah wak dibuwek e nyoh soal e bawaan nan di baok tu barek,  nan di rumah kamatian tu urang-urang tu sadang masak-masak lo kini tu mah…”
(… kalau Manjanguak Masak tersebut diadakan pada pagi hari atau siang hari, biasanya cuaca panas, akan melelahkan karena bawaan yang dibawa tersebut berat, lagian orang yang berada di rumah kematian sedang memasak pula…)

                 Ketiga, setelah semua makanan dan masakan yang akan dibawa telah selesai dimasak, dilanjutkan dengan memasukan makanan dan masakan tersebut ke dalam dulang dan talam. Keempat, persiapan untuk berangkat ke rumah duka, yaitu seluruh orang yang dipanggil seperti ipar, besan dan tetangga dekat untuk pergi Manjanguak Masak telah datang, dan seluruh pembawaan telah siap untuk dibawa, atau setelah semuanya siap, barulah rombongan tersebut berangkat menuju rumah duka.
                 Untuk masakan dan makanan yang dibawa pada waktu Manjanguak Masak, seluruhnya ditanggung oleh orang yang Manjanguak Masak yaitu bako. Dengan kata lain, seluruh biaya dan bahan baku yang diperlukan untuk Manjanguak Masak termasuk ongkos mobil atau ojek untuk membawa rombongan Manjanguak tersebut sepenuhnya menjadi tanggungan bako dari keluarga yang meninggal, yang dapat menghabiskan biaya sekitar Rp. 1.500.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,-. Diperoleh informasi bahwa untuk memenuhi keperluan biaya Manjanguak Masak  ada  orang melakukan pinjaman kepada temannya atau berhutang kepada penjual sembako di pasar.[79]
b.   Berangkat ke Rumah Duka
                 Tahap pelaksanaan Manjanguak Mantah, masyarakat datang ke rumah duka dengan membawa perlengkapan. Setelah sampai di rumah duka, barang bawaan diserahkan kepada keluarga duka. Proses Manjanguak Masak yang dilakukan oleh bako dilihat dari barang bawaannya lebih banyak. Jika pihak bako dari keluarga penghulu, maka jumlah dulang yang dibawa sebanyak 7 (tujuh) buah dengan 5 (lima) buah talam, sedangkan jika pihak bako bukan berasal dari penghulu, jumlah dulang yang dibawa adalah 5 (lima) buah dengan 3 (tiga) buah talam.
                 Adapun maksud dibedakan jumlah dulang dan talam tersebut adalah untuk membedakan ninik mamak dan anak kemenakan sesuai dengan ungkapan “untuak mambedaan antaro sawah jo pamatang.” Artinya adalah untuk membedakan antara antara mamak dengan kemenakan. Hal ini terungkap dari perrnyataan Datuak Palembang Basa.[80]
“…sababnyo mako dibedaan jumlah dulang jo talam nan dibaok untuak membedakan antaro niniak mama jo anak kamanakannyo, istilah e untuak mambedaan antaro sawah jo pamatang, kan ndak mungkin samo tinggi doh antaro sawah jo pamatang…”
“…sebabnya maka dibedakan jumlah dulang dengan talam yang dibawa untuk membedakan antara ninik mamak dengan anak kemenakan, istilahnya untuk membedakan antara sawah dengan pematang, kan tidak mungkin sama tinggi antara sawah dengan pematang…”

                 Adapun isi dulang tersebut adalah nasi jamba, lauk pauk, masing-masing lauk pauk diletakkan di dalam cambuang dan disusun rapi dalam dulang. Dulang ini terbuat dari bahan logam kuningan. Dulang-dulang ditutup dengan tudung air.[81] Sedangkan talam berisi kue-kue dan makanan tradisional yang dibuat sendiri oleh keluarga dan kerabatnya, dan tidak boleh dibeli. Jika tidak dibuat sendiri oleh kerabat, maka akan menjadi gunjingan bagi pihak keluarga atau orang yang berada di rumah duka, bahwa keluarga dari kerabat bako tidak ada yang bisa membuat kue dan makanan tradisional.[82]     
                 Setelah semua persiapan Manjanguak Masak selesai, dan orang-orang yang dipanggil untuk pergi Manjanguak Masak telah hadir semua, maka seluruh rombongan mulai berangkat menuju ke rumah duka. Pada masa dahulu, rombongan berangkat ke rumah duka dengan berjalan kaki. Sejauh apapun jarak rumah duka yang dituju harus ditempuh dengan berjalan kaki.[83]
                 Pada masa sekarang, hal tersebut sudah berubah, apabila jarak ke rumah yang dituju cukup jauh, maka mereka berangkat dengan menggunakan kendaraan. Biasanya kendaraan yang dipilih adalah kendaraan yang bisa mengangkut rombongan dalam jumlah yang banyak. Biasanya kendaraan lazim untuk mengangkut rombongan adalah mobil bak terbuka, yang mereka kenal  dengan oto kompong.[84] Di rumah duka rombongan Manjanguak Masak ini dinanti oleh kaum kerabat pihak duka. Orang-orang yang menanti rombongan Manjanguak Masak ini adalah keluarga dekat, kerabat dan tetangga yang semuanya juga perempuan. Seluruh pembawaan Manjanguak Masak tersebut diserahkan oleh rombongan kepada pihak keluarga duka, lalu bawaan itu dihidangkan untuk dimakan bersama.
c.  Berdoa
                 Berdoa adalah aktivitas yang sangat sakral. Berdoa merupakan permohonan kepada Tuhan agar almarhum diterima di sisiNya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran.  Biasanya doa diiringi oleh gerak-gerik dan sikap-sikap menghormati dan merendahkan diri kepada tuhan.[85] Seperti menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri, meanggukkan kepala ke atas dan ke bawah.
            Setelah mengutarakan maksud dan tujuan yang dilakukan oleh tuan rumah, maka Urang Siak mulai memimpin doa dengan membakar kemenyan putih yang disediakan oleh keluarga duka. Kemenyan warna putih dianggap suci dan bersih,  serta aroma yang dihasilkanya lebih wangi dan tajam yang dikatakan oleh Cimuih.[86]

Kumanyan yang digunakan biasonyo kumanyan warna putiah, kumanyan warna putiah ko, wanginyo labiah manyangek dari pado kumanyan yang warna kuniang, kumanyan warna putiah ko barasiahlo bantuak e. Jadi awak awak mandoa dalam hati barasiah lo hendaknyo


(Kemenyan yang digunakan biasanya berwarna putih, karna kemenyan warna putih wanginya lebih menyengat dari pada kemenyan warna kuning. Kemenyan warna putih bentuknya bersih, jadi kalau kita melakukan berdoa dalam hati yang bersih pula hendaknya.)


            Kegiatan ini dipimpin oleh Urang Siak setelah kemenyan dibakar, lalu  membaca basmalah, membaca ayat-ayat Al-Quran, doa-doa, tahmid, dan tasbih. Berdoa dilakukan di awal kegiatan, yaitu setelah semua orang hadir di rumah duka, dan duduk pada tempat yang telah disediakan. Makna dari berdoa adalah hidup dan mati kita di tangan Tuhan. Untuk itu kepada-Nya lah kita meminta. Segala sesuatu yang diinginkan. diminta semua terkabul. Tujuan berdoa untuk orang meninggal adalah supaya terlepas dari azab kubur seperti yang dikatakan oleh Lidar.[87]
“…Mandoa kamatian tantu mamohon ka tuhan  ditujukan ka urang yang maningga supaya lapang dan ndak tasisonyo dalam kubue doh, dan amalan-amalan salamoko ditarimo lah hendaknyo…”

(“…Berdoa, merupakan minta kepada tuhan supaya orang yang  meninggal dilapangkan dalam kubur serta terhindar dari azab kubur, serta amalan-amalan diterima di sisi Allah SWT…”)



Hal senada juga dikatakan oleh Basyirudin Fajal[88]

“… tujuan mandoa ko yo mamohon ka tuhan, supaya dilapangan di dalam kubue. Nan angek paralu didinginkan, nan biso paralu ditawakan, nan sampik paralu dilapangan dan untuak manmbah darajaiknyo.Baiu pulo urang yang maningga ko nan sampik paralu dilapangan dengan meminta kapado tuhan…”


(“…tujuan berdoa ini memohon kepada tuhan, suapaya dilapangkan di dalam kubur. Yang panas perlu didinginkan, yang bisa perlu ditawarkan, yang sempit perlu dilapangkan dan untuk menambah derajatnya. Begitu juga terhadap orang meninggal ini kalau sempit ya dilapangkan dengan meminta kepada tuhan…”)

            Berdasarkan penuturan di atas bahwa berdoa ditujukan kepada Allah SWT, supaya almarhum tenang di dalam kubur dan keluarga yang ditinggalkan bersabar. Setelah itu dilanjutkan berzikir dengan dengan mengucapkan Lailahailallah, menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, kemudian mengucapkan nama Allah dengan mengerakkan kepala ke atas dan ke bawah.
d.      Makan Bersama
                 Acara dilanjutkan dengan makan bersama beserta Urang Siak. Semua masakan dan makanan yang dihidangkan seluruhnya adalah bawaan keluarga dari bako. Pada waktu dahulu, pihak kelurga duka tidak menyiapkan masakan dan makanan apapun. Keluarga duka hanya menyediakan air minum, namun sekarang ini, pihak keluarga duka juga menyiapkan hidangan lain, mengingat banyaknya kerabat dan undangan yang hadir. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Minah[89]
“Sesudah badoa dilanjuikan dengan makan basamo, biaso e makanan yang dihidangan disadioan dek bako, tapi kini dek banyak e ughang nan tibo, keluarga nan mandapek musibah ikuik juo manyadioan makanan dek banyak ughang nan dipanggia.”

                 (Sesudah berdoa dilanjutkan dengan makan bersama, biasanya makanan yang dihidangkan disediakan oleh bako, tetapi sekarang karena banyak orang yang datang, keluargayang mandapat musibah ikut juga menyediakan makanan karena banyak orang yang diundang)

            Hal-hal yang harus dilakukan pada saat makan bersama: pertama tempat duduk diatur sedemikian rupa, urang siak harus didudukkan di kepala rumah/sudut ruangan dan bersandar ke dinding yang dinaungi oleh tirai bakolam yang diletakkan di loteng atap rumah pada posisi tempat duduk Urang Siak.Tirai dibedakan menjadi dua jenis yaitu tirai Bakolam[90] dan tirai Bacancang. Tirai Bakolam sebagai naungan Ulama, Imam, Kahtib dan Labai. Tirai ini digunakan pada saat ritual kematian. Tirai Bacancang[91] sebagai naungan niniak mamak dan hanya digunakan pada saat mengadakan upacara perkawinan.  Urang Siak dianggap kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu tempat duduknya ditinggikan dengan duduk di atas kasur. Seperti yang dikatakan oleh Syamsuardi[92]
“Kasue gunonyo untuak duduaknyo urang siak, suapayo agak tatingi duduaknyo dari pado urang yang bukan urang siak. Mangkonyo ditinggian karano, posisi urang siak katiko mangaji kamatian tu, kedudukannya lebih tinggi, lebih terhormat.”

(“Kasur berfungsi untuk tempat duduknya Urang Siak, supaya duduknya urang siak agak tinggi sedikit dari pada orang yang bukan urang siak, ini ditiggikan karena posisi urang siak ketika mengaji kematian tu kedudukannya lebih tinggi, lebih terhormat.)

            Kedua orang yang hadir baik itu undangan, orang Manjanguak Mantah maupun Manjanguak Masak duduk bersila dan bersimpuh menjaga tata tertib dan sopan santun. Adapun pantangan yang dihindari pada saat makan bersama adalah: (a) makanan dan lauk pauk, harus tersusun rapi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, (b) tidak dibenarkan Mancapak (berbunyi) pada waktu mengunyah. Setelah acara ditutup dengan doa bersama, keluarga bako dan orang yang datang Manjanguak Mantah mohon diri kepada keluarga duka untuk pulang.
e.     Memberikan Lemang
                  Sebelum keluarga bako dan orang Manjanguak Mantah pulang pihak keluarga duka menyerahkan lemang kepada masing-masing orang dari pihak bako tersebut sebanyak tiga sampai lima batang lemang, sedangkan bagi orang yang Manjanguak Mantah diberikan 2 batang lemang. Untuk Urang Siak selain diberi uang masing-masing Rp 30.000 (tiga puluh ribu rupiah)-Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah) sebagai tanda sedekah, juga diberikan 1 batang Lemang. Maksud dibedakan jumlah pemberian Lemang dilihat dari jumlah pembawaan yang dibawa seperti yang diungkapkan oleh Siroih[93]
Jumlah lamang nan diagiah kalo untuak  pihak bako 5-6 batang lamang, karano pambawoan bako kan banyak loh tu hubungan awak dakek lo samo inyo,sadangkan ughang Manjanguak Mantah cukuik 2 batang lamang jenyoh, kalo ughang siak cukuik sebatang lamang loh nyo samo pitih sadakahnyo. 
                
                 (Jumlah lamang yang diberikan untuk pihak bako 5-6 batang lemang, karena pembawaan yang dibawakan lebih banyak, dan hubungan dengan kita lebih dekat. Sedangkan orang yang datang Manjanguak Mantah cukup 2 batang Lemang saja, orang siak cukup satu batang lemang dan uang sedekah saja.)

            Bambu bekas lemang yang dibawa pulang tidak boleh dibakar karena bambu bekas lemang dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dilakukan, jika bambu tersebut dibakar nanti kepanasan orang yang berada di dalam kubur, dan dan bambu lemang dianggap sebagai tongkat penunjuk jalan ke surga seperti percakapan peneliti dengan seorang yang bernama Zulbainar.[94]
Peneliti            : oh yo Mak, manga mangko ndak buliah masuak an buluah lamang tu ka tungku t mak..?
(oh ya Mak, mengapa tidak boleh bambu lemang dimasukkan ke tungku api Mak?)
Nenek              : “dak buliah dibaka buluah tu doh, beko angek-angek urang yang ado dalam kubue tu beko, sedangan awak berharap inyo sanang dalam kabue. Soal e wakatu k mambuek lamang ko, ado lo doanyo. Babeda dengan dengan lamang dibuek katiko indak mandapek kamatian atau lamang yang ado dijua di balai, buluah e buliah dibaka tu. Buluah lamang tu sebagai tungkek deknyo diakhiraik untuak manunjuak jalan ka sarugo …”
(bambu itu tidak boleh dibakar,  nanti kepanasan orang yang berada dalam kuburan itu, sedangkan kita berharap dia senang dalam kubur. Soalnya, ketika memasak lemang ini ada pula doa-doanya. Berbeda dengan lemang yang dijual di pasar, kalau lemang yang dijual pasar ini boleh dibakar bambunya, dan bambu bekas lemang itu sebagai tongkat penunjuk jalan ke surga ..)
Peneliti            : oh…mantun mak yo, oh… yo mokasih lah mak.
                         (oh…begitu mak, terima kasih mak.)
Nenek              : ”ah yo..yow..,ndak makan goreang pisang gai lu…ambiaklah..
(oh ya…sebelumnya tidak makan goreng pisang dahulu..ambil saja….)
Peneliti            : “mokasih lah mak!”…
                         (“Terima kasih mak!)

                 Berdasarkan penuturan informan di atas, penulis mengetahui bahwa bambu pembuat lamang mempunyai makna bagi masyarakat Tandikek. Suatu simbol tidak akan mempunyai nilai atau kedudukan universal terbatas dalam sistem religi dan komunitasnya.[95] Jadi bambu lemang yang tidak boleh dibakar tidak akan mempunyai nilai dan kedudukan religius apa-apa kalau lemang itu dibuat tidak dalam kaitan religi. Dia hanya sebagai bahan makan biasa serupa dengan bahan makanan lainnya. Pada dasarnya benda simbolis itu tidak mempunyai nilai intrinsik religius tersendiri kecuali kalau berada di dalam sistem religi yang bersangkutan. begitu juga dengan lemang yang dibuat ketika kematian, yaitu mempunyai nilai intrinsik religius tersendiri, dan tidak mempunyai nilai apa-apa kalau lemang itu dibeli di pasar.

B.     Makna Aktivitas dan Perlengkapan Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak
            Berbagai aktivitas yang dilakukan merupakan wujud dari kegiatan Manjanguak Masak dan Manjanguak Mantah. Aktivitas tersebut menjadi tradisi pada masyarakat Nagari Tandikek, karena dipertahankan sejak dahulu. Geertz menggambarkan kebudayaan sebagai susunan arti yang dibawa simbol, tempat orang meneruskan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekpresikan sikap.[96]Kebudayan merupakan suaru pola makna yang ditafsirkan secara historis yang terwujud dalam bentuk-bentuk simbolik, dimana melalui bentuk-bentuk tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan bersikap tentang kehidupan.[97]
            Di dalam suatu kebudayaan terdapat berbagai macam bentuk pengetahuan yang diteruskan, yang dibawa oleh sistem budaya. Geertz menyatakan bahwa agama merupakan system budaya karena agama (1) sebuah simbol yang berperan (2) membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif dan tahan lama dalam diri manusia dengan cara (3) merumuskan konsepsi tatanan kehidupan umum dan (4) membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi tersebut membuat orang berbuat sesuatu dan juga ingin merasakan sesuatu.
            Masyarakat pada umumnya senantiasa mempertahankan budaya mereka melalui upaya-upaya tertentu agar tetap terjaga kelestariannya dari masa ke masa, sehingga menjadi tradisi. Pelestarian budaya melalui pelaksanaan upacara-upacara tertentu, salah satunya dalam upacara kematian dikenal dengan Manjanguak antah dan Manjanguak Masak  merupakan Adaik Salingka Nagari yang dilakukan hingga kini dalam setiap upacara kematian di Nagari Tandikek.
            Dalam penelitian ini, tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak  dalam proses pelaksanaan mempunyai berbagai bentuk tindakan, seperti berdoa, makan bersama. Kegiatan tersebut memiliki simbol yang dengannya dapat ditafsirkan maknanya. Berkaitan dengan ini maka tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak  tetap dipertahankan oleh masyarakat Nagari Tandikek. Hal ini disebabkan pertama menjalin tali sirahturahmi supaya tidak terputus; kedua Prinsip memberi dan menerima, ketiga saling membantu dan tolong menolong;  Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci mengenai sebab musabab tersebut:
            Pertama menjalin siraturahmi antara orang yang datang Manjanguak Masak dan Manjanguak Mantah dengan keluarga duka, bahkan orang yang berada di rantau juga ada ikut datang ke rumah duka untuk berkumpul, dan bercerita. Makna menjalin silaturahmi adalah untuk menjaga hubungan supaya tidak terputus. Seperti yang diungkapkan Bapak Bagindo Sutan.[98]
“Nan jaleh wakatu manduo kali tujuah ko, sadolah urang tibo ka umah kamatian tu, nan dari bako, sanak dakek, sanak jauah, urang rantau pulang nyo tu, disitu awak-awak basobok, bacarito jo manjalin sirahturahmi namoe”beko urang yang sukses di rantau tu badoncek[99]


(”Yang jelas waktu 14 hari ini, semua orang datang ke rumah kematian, baik dari bako, kerabat, serta orang yang berada di rantau, disana mereka semua bertemu, bercerita menjalin tali sirahturahmi. Nanti orang yang sukses tu melakukan badoncek”)


Ibu  Ramiyan[100]juga mengatakan bahwa:

Katiko ma duo kali tujuah ko, yo rami bana urang nan tibo sadoalahnyo bakumpua, bako, ipa, bisan, dari keluarga nan maningga ko tibo, kok nan ado dirantau urangnyo pulang sadoalahnyo.  Katiko makan tu nampak bana beko tu baa nan basamo tu.


            (Ketika 14 hari kematian , orang ramai di rumah duka, semua orang berkumpul di sana, bako, ipar, dan  besan dari keluarga yang meninggal. Orang yang berada di rantau juga turut pulang. Kebersamaan terlihat ketika melakukan makan bersama).

Badoncek merupakan perlombaan status bagi kaum laki-laki yang pulang dari perantauan, semakin banyak sumbangan yang diberikan maka, status yang dimiliki dalam masyarakat juga tinggi. Badoncek dilakukan di halaman rumah duka sebelum dilakukan prosesi mendoa. Semua pemuda perantauan berkumpul diselingi dengan segelas teh atau kopi hangat serta kue-kue kering. Badoncek tidak hanya dilakukan pada waktu upacara kematian, tetapi juga pada waktu pesta perkawinan, Maulid Nabi Muhammad SAW.[101]Dikalangan mahasiswa dan dosen-dosen terutama  berasal dari Pariaman acara Badoncek juga juga dilakukan biasanya pada waktu acara berbuka bersama di bulan puasa.[102]Jadi terlihat kebersamaan antara satu dengan yang lainnya ketika dilakukan acara Badoncek.                                                                                                            
           
            Kedua tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak ini dijadikan sebagai ajang memberi dan menerima. Sesuatu yang telah diberikan yang nantinya kan diterima kembali. Begitu pula dengan tradisi ini, pembawaan yang diberikan kepada keluarga duka oleh orang yang datang Manjanguak, nantinya akan terima oleh orang yang datang Manjanguak. Seperti yang diungkapkan oleh Hj. Rakibah.[103]
“Pambawoan nan dibawo ka rumah maningga tu, ayam, beras, dan telur, beko awak ka pulang nyo isian lo ka dalam tenong tu lamang tu, kalau pambawoan dek bako, nyo isian lo lamang, kain palakaik. Tapi yo haragonyo ndak seimbang doh dengan apo nan diberikan tu.”


(Barang bawaan yang dibawa oleh orang yang ke rumah  duka, seperti ayam, beras, dan telur. Setelah acara selesai semua warga yang datang berpamitan untuk pulang, isi bakul tersebut diganti dengan lemang oleh keluarga duka. pembawaan yang di bawa oleh bako mereka juga gantikan dengan  lemang, dan kain sarung. Tetapi harganya tidak sebanding dengan apa yang kita berikan itu.)

Hal itu juga dipertegas oleh Deddy Guswin[104]

”Sabanae awak pai ka umah kamatian tu agiah maagiahnyo, po yang wak agiahan beko, beko wak diagiah e lo beko tu mah….baitu pulo katiko wak dapek musibah kamatian, urang datang ka rumah awak, awak tu harus datang lo ka rumah urang”


(Sebenarnya kita pergi ke rumah kematian memberi dan menerima tu, apa yang kita berikan, nanti kita kan menerima kembali, begitu pula ketika kita mendapat musibah kematian, orang datang ke rumah kita, tentu kita harus pula datang ke rumah mereka.)

            Selanjutnya yang Ketiga membuat masyarakat Nagari Tandikek dapat saling membantu dan tolong menolong. Hal ini tergambar dalam proses pembuatan lemang (dilakukan oleh bako) satu hari sebelum berangkat ke rumah duka. Tidak hanya kaum ibu-ibu yang terlibat, tetapi juga kaum bapak-bapak, dan Urang Sumando/ menantu dari pihak bako.[105] Bukan cuma itu, dalam pemilihan bambu untuk pembuat lemang harus diseleksi terlebih dahulu, layak atau tidaknya dipakai bambu yang akan digunakan dalam pembuatan Lemang tersebut. Berikut penuturan dari Nurlela mengenai hal ini:
“Sabalum mamasak lamang, harus disediakan terlebih dahulu buluah, beras,santan kelapa, dan kayu untuk membakar bambu lemang. Disiko sadolahnyo bakumpue mangarajoan tugaeh e masiang-masiang, nampak jiwa gontong royong e: kok nan laki-laki mancari kayu dalam palak, nan padusi menyiapkan segala sesuatunya.


(“Sebelum memasak lemang, terlebih dahulu disediakan bambu, beras, santan kelapa, dan kayu untuk membakar bambu pembuat lemang. Di sini terlihat semuanya jiwa kegotong royongan mereka, semuanya berkumpul:laki-laki mencari kayu bakar, yang perempuan menyiapkan segala sesuatunya.)


1. Makna Aktivitas
a. Berdoa
            Berdoa dengan menadahkan telapak tangan seraya meminta mengandung makna bahwa manusia adalah mahkluk yang lemah di hadapan Allah, dan kepada Allah SWT manusia meminta apa yang kehendaki, mengusapkan kedua telapak tangan ke muka, setelah berdoa mengandung makna kerendahan hati makhlukNya dan pengakuan syukur akan kebesaran Tuhan. Selanjutnya berzikir dengan menyebut nama Allah dan kebesarannya secara lisan, berzikir tersebut mengucapkan Lailahhailallah  dengan menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan itu bermakna tiada tuhan selain Allah, gerakan gelengan tersebut menandakan bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah. Berzikir dengan mengucapkan nama Allah, dengan gerakkan kepala ke atas dan ke bawah yaitu bermakna meyakini kebesaran Allah serta tunduk terhadap perintah dan larangaNya.
b.     Makan Bersama
            Makan bersama juga merupakan aktivitas yang amat penting dalam ritual keagamaan. Makan bersama ini didahului oleh pihak bako, serta para undangan yang hadir, Urang Siak, dengan duduk melingkari hidangan yang dibawa bako. Waktu makan bersama posisi duduk Urang Siak lebih  ditinggikan dengan duduk di atas kasur. Posisi duduk Urang Siak melambangkan kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang yang hadir di hajatan tersebut, karena Urang Siak  yang memimpin doa. Makna dari makan bersama adalah bentuk basa-basi yang tinggi dari pihak keluarga duka.

c. Pemberian Lemang
            Pemberian lemang yang diberikan oleh keluarga duka terhadap orang yang datang Manjanguak Mantah, Manjanguak Masak, Urang Siak sebagai ucapan terima kasih  dari keluarga almarhum/almarhumah. Perbedaan pemberian jumlah lemang mempunyai makna yaitu keterkaitan  hubungan keluarga duka dengan tamu yang datang. Semakin banyak lemang yang diberikan oleh keluarga duka, berarti hubungan kekerabatannya dengan duka lebih dekat.

2. Makna Pembawaan
            Pembawaan adalah simbol dari aktivitas Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Simbol adalah objek, kajian, bunyi, bicara, atau benda-benda tertulis yang diberi makna oleh manusia. Simbol ini dapat berbentuk bahasa, mimik wajah, gerak-gerik, tata ruang dan benda-benda ritual.[106] Dalam tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak pembawaan yang diberikan ke rumah duka mempunyai makna tersendiri. Pembawaan dibedakan menjadi dua, yang pertama pembawaan Manjanguak Mantah dan  kedua, Manjanguak Masak. Pembawaan Manjanguak Mantah adalah ayam kampung, beras dan telur. Sedangkan pembawaan Manjanguak Masak adalah makanan, lauk pauk dan lemang. Makna dari pembawaan adalah sebagai bentuk kepedulian. seperti yang diungkapkan Datuak Palembang Basa[107] “bajalan babuah batih, malenggang babuah tangan (berjalan berbuah betis, melenggang berbuah tangan).Orang yang melakukan manjanguak tersebut akan merasa malu apabila datang dengan tangan kosong. Jadi pembawaan yang diberikan kepada pihak duka sebagai bentuk bantuan meringan beban keluarga duka, karena keluarga duka sudah jatuh tertimpa tangga pula.




3. Makna Perlengkapan dan  di Rumah Duka
            Perlengkapan dan peralatan yang digunakan pada acara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak adalah tirai, kasur, carano, dan kemenyan. Masing-masing perlengkapan dan peralatan tersebut memiliki makna tertentu yang dapat dilihat sebagai berikut.

a. Tirai
            Tirai dibuat dari warna kain putih dan dilingkari kain kuning di setiap sisinya yang berbentuk persegi panjang. Tirai merupakan sejenis kain penutup loteng yang berada di atas kepala Urang Siak  yaitu orang yang dipercayai memimpin doa dalam melakukan aktivitas berdoa. Tirai dibedakan menjadi dua jenis yaitu tirai Bakolam dan tirai Bacancang. Tirai Bakolam sebagai naungan Ulama, Imam, Kahtib dan Labai. Tirai ini digunakan pada saat ritual kematian. Sedangkan tirai Bacancang sebagai naungan niniak mamak dan hanya digunakan pada saat mengadakan upacara perkawinan. Urang Siak dianggap kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu tempat duduknya ditinggikan.
b. Kasur
            Kasur yang terbuat dari kapas (kapuk). Kasur yang digunakan hanya satu buah. Kasur ini disediakan sebagai alas tempat  duduk Urang Siak. Kasur ini  diletakkan di bawah naungan tirai Bakolam yang dialas dengan sebuah kain panjang (kain batik) pada posisi tempat duduk orang siak. Makna dari kasur adalah penghormatan terhapat Urang Siak dengan memberikan tempat duduk yang nyaman bagi mereka. Urang Siak dianggap kedudukan lebih tinggi dari masyarakat biasa, oleh sebab itu tempat duduknya ditinggikan dengan duduk di atas kasur.
c. Carano
            Carano merupakan peralatan adat yang terbuat dari logam atau kuningan yang selalu digunakan saat melakukan upacara adat. Carano dilingkari dengan arai pinang yang telah dibentuk. Di dalam carano terdapat daun sirih, pinang, sadah, gambir,dan tembakau. Carano ini melambangkan rasa hormat kepada orang yang hadir dalam melakukan mengaji kematian tersebut. Dalam setiap upacara adat menghormati tamu menyuguhkan sirih serta kelengkapannya merupakan alat komunikasi yaitu adab basa-basi.
            Carano yang digunakan dalam upacara ini adalah carano biasa, yaitu terbuat dari kuningan bentuk dulang, tetapi tidak begitu lebar dan lebih dalam dengan diameter ± 25 cm. Carano mempunyai satu kaki yang berbentuk bundar, pada bagian pinggir luarnya mempunyai motif tumpul, dan bagian badan sebelah luar mempunyai motif sulur-suluran. Makna dari carano adalah penghormatan terhadap orang yang hadir dengan menyuguhkan sekapur sirih untuk dimakan sebagai bentuk basa-basi.




d. Kemenyan
            Kemenyan adalah suatu jenis wewangian yang berasal dari getah kayu yang bernama kemenyan. Kemenyan dibakar di atas bara api, kemenyan yang dibakar pada saat prosesi acara Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak adalah bewarna putih. Warna putih dianggap suci dan bersih, serta aroma yang dihasilkan juga lebih wangi dan tajam. Kemenyam ini dibakar oleh Urang Siak saat memulai ritual dengan alas dari sabut (sabuik) kelapa atau piring logam yang tahan panas. Makna dari pembakaran kemenyan adalah untuk memanggil roh-roh nenek moyang. Kemenyan sebagai simbol penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib.













BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Upacara kematian Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak sebagai bentuk upacara yang dilakukan dan dipahami oleh masyarakat setempat, dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan. Upacara ini tetap dilakukan oleh masyarakat setempat, meskipun suasana yang amat sulit sekalipun seperti pada kematian yang terjadi akibat bencana alam gempa. Bahkan upacara itu mereka lakukan di tenda-tenda sekalipun. Jadi pertanyaan penelitian mengapa pranata tetap dipertahankan oleh masyarakat Tandikek dan apa makna yang terkandung dalam tradisi tersebut?
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak yang dilakukan masyarakat Tandikek ketika 14 (empat belas) hari setelah jenazah dikuburkan, upacara ini dilakukan karena keluarga duka tidak lagi larut dalam suasana sedih. Masyarakat setempat masih mempertahankan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak, karena dinilai penuh makna. Tradisi ini diyakini masyarakat karena untuk: (1) Untuk menjalin tali siraturahmi supaya tidak terputus, (2) saling menerima dan memberi, (3) saling membantu dan gotong royong.
         Tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak merupakan   gengsi sosial dan ajang proyek. Hal itu terlihat  ketika  orang yang akan pergi manjanguak melakukan pinjaman kepada orang lain, dan meminjam emas demi menutupi rasa malu yang dimilikinya. Dikatakan sebagai ajang mendapatkan keuntungan, hal tersebut terlihat ketika keluarga duka ada yang menjual barang bawaan orang yang datang manjanguak setelah upacara kematian selesai, dan acara Badoncek yang dilakukan oleh orang yang datang dari rantau, serta adanya dinamika perubahan waktu yang tidak harus tepat 14 hari kematian. Upacara tersebut bisa saja dilakukan hari ke ke­-12 ataupun hari yang ke-16.

B.     Saran
         Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menggambarkan pemaknaan, dan proses pelaksanaan tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak. Di dalam proses pelaksanaan ditemukan, bahwa untuk pergi manjanguak diduga ada motif-motif ekonomi seperti peminjaman emas ketika akan melakukan Manjanguak yang belum tergali lebih dalam penelitian ini. Hal ini dapat mendorong penelitian selanjutnya. Pengkajian tradisi Manjanguak Mantah dan Manjanguak Masak dari sudut pandang yang berbeda akan meningkatkan pemahaman pembaca mengenai aspek-aspek yang berhubungan dengan tradisi tersebut.



[1] Pranata sosial adalah sistem norma atau peraturan-peraturan khusus yang mengatur suatu aktivitas masyarakat; Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:Rineka Cipta, 1990 hal :134
[2]  Upacara Kematian  adalah suatu upacara yang diadakan berhubungan dengan peristiwa kematian seseorang untuk menunjukan perasaan berkabung Ariyono, Suryono, Kamus Antropologi. Jakarta , Akademika Persindo, 1985, hal. 425
[3] Ngaben adalah upacara kematian untuk mensucikan roh leluhur atau orang tua yang telah meninggal dunia dengan cara pembakaran mayat sesuai dengan ajaran agama hindu.
[4] Lusianna M.E Hutagallung.”Ngaben”Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya di Bali.Kertas Karya. USU Medan. 2009.

[5] Rambu solo; merupakan upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga almarhum untuk membuat pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Masyarakat yang melakukan upacara dibagi kepada dua golongan ; (1) golongan bangsawan, jika golongan bangsawan yang meninggal dunia maka jumlah kerbau yang akan disembelih mencapai 20 sampai 100 ekor kerbau dan pesta yang dilakukan selama dua minggu; (2) golongan menengah juga harus menyembelih kerbau 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi dan lama upacara sekitar tiga hari. Sebelum jumlah hewan mencukupi, maka jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi, makanya tidak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di tongkonan sampai keluarga almarhum/almarhumah dapat menyiapkan hewan kurban. Rotua Tresna Nurhayati Manurung.2009. Upacara kematian di Tana Toraja :Rambu Solo.Kertas Karya. USU Medan.

[6]  Deddy.Mulyana, Komunikasi Antar Budaya. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2005
[7] Tradisi merupakan aspek-aspek budaya yang sangat penting yang dapat di ekspresikan dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis, pantangan-pantangan dan sanksi-sanksi. Deddy. Mulyana, Komunikasi Antar Budaya. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2005, hal :123

[8] Ayam yang dibawa adalah ayam kampung. Ayam betina menandakan orang yang yang meninggal itu perempuan, sedangkan ayam jantan menandakan yang meninggal itu laki-laki.

[9] Bako adalah: Sebutan untuk keluarga ayah. LKAAM, 2002. Adat Basandi syarak, Syarak Basandi Kitabullah: Pedoman Hidup Banagari , Sako Batuah :Padang , hal :53

[10] Urang Siak adalah alim ulama yang telah ditunjuk oleh masyarakat untuk membaca doa (mengaji) untuk almarhum/almarhumah yang berjumlah 5-10 orang.
[11] Zaiful, Anwar, Upacara Turun Mandi Anak Secara Tradisional Minangkabau di Daerah Sumatera Barat di . Padang, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1991, hal 2

[12]Van Ball,  Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta, Gramedia, 1998 hal. 17

[13]Novitry. Makna Tradisi Maanta Kasua dalam Upacara Kematian pada Masyarakat Nagari Kapau. skripsi. Padang: FISIP UNAND.2008

[14]Ernatip, dkk. Pasambahan Dalam Upacara Kematian di Kecamatan Kuranji Kota Padang.  Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang. 2005

[15] Bagindo Sutan (60 tahun) salah seorang  Labai Kampuang di Nagari Tandikek. Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Juli 2010.

[16] Clifford Gerrtz. Tafsir kebudayaan. Yogyakarta:Kanisius.1992. hal : 5
[17] Clifforg Geertz, Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta:Kanisius.1995, hal : 3.
[18] Op.cit hal : 17
[19] Ahmad F. Saifuddin. Antropologi Komtemporer. Kencana:Jakarta 2006.hal :288
[20] Ibid hal : 289-291
[21] Ibid hal : 297
[22] Ariyono, Suryono, Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Persindo, 1985, hal 425
[23] Bako adalah keluarga dari ayah. Dalam kaitan dengan  upacara kematian ini yang harus melaksanakan kegiatan tersebut adalah bako yang memiliki ikatan yang lebih dekat dengan pihak duka. Sementara bako yang tidak memiliki ikatan dekat atau jauh tidak haru smelakukan hal itu.
[24] Dalam paradigma ini tidak terdapat pemisahan atau jarak antara pengamat dengan dengan masyarakat yang diteliti. Nasution.1986.Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung :Tarsito. Hal 4
[25] Geertz dalam penelitiannya juga menggunakan metode etnografi yang berpedoman kepada Malinowski.
[26] James. Spradley, Metode Etnografi.Yogyakarta. PT. Tiara Wacana, 1997, hal 3
[27] Agus Salim. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 2001.hal.151-152
[28] Ibid, hal 151-152
[29]Pada Tanggal 12 Desember 2010 bertempat di rumah duka di Jorong Galoro. Upacara ini dilakukan di rumah Lambuak anak dari Angah Sunan (Almarhumah). Pagi jam 09.00 peneliti sudah sampai di tempat tujuan yaitu ke rumah Lambuak. Peneliti datang untuk melakukan Manjanguak Mantah. Sampai di rumah duka,  peneliti ikut membantu masyarakat yang hadir di sana. Masing-masing orang yang hadir di sana mempunyai aktivitas tersendiri, ada yang sibuk membuat lemang, menguliti ayam, memasak nasi, serta lauk pauknya, sambil bersenda gurau, ada menceritakan anaknya yang telah sukses di rantau orang. Disela waktu, datanglah tukang kredit yaitu orang Batak yang mengantarkan tikar plastik ke rumah Lambuak. Semua mata tertuju kepada tukang kredit tersebut, apakah itu disengaja atau tidak oleh tuan rumah peneliti tidak tahu. Pada saat itu peneliti dimarahi oleh salah seorang nenek karena membakar bambu bekas lemang. Pada saat itu peneliti tidak melihat kayu bakar,  makanya peneliti memasukkan bambu bekas lamang. Peneliti berpikiran bahwa dengan bambu itu api dengan cepat dapat menyala dan  gulai nangka yang sedang dimasak saat itu akan cepat matang. Untuk lebih rinci penjelasan dapat dlihat pada bab III halaman 47.
[30] Ibid.hal.25-26

[31] Pedoman wawancara lihat di lampiran 1
[32] Ibid, Hlm. 287
[33] Clifford Geertz. Dikutip dalam Nur Syam. 2007. Mazhab-mazhab Antropologi. Yogyakarta. LkiS. Hlm. 94
[34] Buku Profil Nagari Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman 2008
[35] Arlis Datuak Lansa (62 tahun) Adalah Panghulu Piliang di Nagari Tandikek, sekaligus Kepala bidang Sako KAN Nagari Tandikek. Wawancara  pada tanggal 12 Desember 2010 di Kantor Wali Nagari.
[36] Datuak Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16  Desember 2010.
[37] Cumanak dan Gunung Tigo berada di Jorong Lareh Nan Panjang.
[38] Ungkap Sabar yang merupakan Sekretaris Wali Nagari Tandikek,Wawancara pada tanggal 12   
    Desember 2010.
[39] Zahidin Alam (59 tahun) Walinagari Tandikek, wawancara pada tanggal 3 Januari 2011

[40] Refisrul Dkk, Tradisi Manampuah dalam upacara perkawinan di Nagari Padang Magek Kabupaten Tanah Datar. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Padangt, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2007.
[41] Diungkapkan oleh Rosine (68 tahun) salah seorang dukun di Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 30 September 2010.Wawancara dilakukan pada sore hari setelah Rosine selesai menerima tamunya yang minta pelaris barang dagangannya.
[42]Preusz dalam Koenjaraningrat, Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka, 1985, hal 26

[44] Bagindo Sutan (60 tahun) salah seorang  Labai Kampuang di Nagari Tandikek. Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Juli 2010.

[45] Baruah (65 tahun) anggota masyarakat Tandikek. Wawancara pada tanggal 6 Desember 2010
[46] Elizabeth. K. Nottingham, Agama dan Masyarakat. Jakarta, Rajawali Pers, 1942, hal. 72.
[47] Nawin (65 tahun), merupakan salah seorang ulama di Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 5 April 2011 di warung sambil minum kopi, yang lokasinya dekat dari rumah peneliti.
[48] Dari pengamatan di lapangan, keluarga duka telah mempersiapkan segala sesuatunya misalnya menyediakan nasi, lauk pauk  dan minuman di rumah  tetangga, tidak dilakukan di rumah duka. Cuma sebagian orang yang mau makan, karena masyarakat menaati perintah agama.
[49] Ramuna (68 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 5 Januari 2011.
[50] Lambuak (43 tahun), merupakan orang yang melakukan upacara kematian. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2010.
[51] Kartini (45 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara dilakukan pada tanggal 22 November 2010.
[52] Syahrial Yazid (56 tahun, pensiunan), Datuak Panghulu Tanjuang Nagari Tandikek. Wawancara pada tanggal 19 Maret 2011 bertepatan dengan wisuda anaknya di UNP. Wawancara dilakukan di kos peneliti pada sore hari.
[53] Gadih (52 tahun), warga masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 28 November 2010.
[54] Lambuak (43 tahun), Lambuak merupakan orang yang melakukan upacara kematian. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2010
[55] Hj.Rakibah (72 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 November 2010
[56] Mariani (55 tahun), orang yang melakukan Manjanguak Mantah. Wawancara pada tanggal 4 Januari 2011
[57] Baruah (65 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 6 Desember 2010.
[58] Berdasarkan pengamatan selama di lapangan.
[59]   Cimuih (48 tahun), Anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 31 Januari 2011.
[60] Manih (55tahun), anggota masyrakat biasa. Wawancara pada tanggal 14 Februari 2011
[61]  Zulbainar (62 tahun)anggota masyarakat Korong Galoro. Wawancara pada tanggal 12
Desember 2010.
[62] Dari hasil observasi selama penelitian, mereka sewaktu melakukan makan bersama mendapatkan pujian atas masakan yang dibawa bako tersebut. Salah seorang dari pihak bako tersipu malu.
[63]   Induak Samba merupakan sejenis lauk pauk yang diletakkan di atas piring. Lauk pauk ini tidak boleh dimakan, hanya sebagai pajangan di hadapan tamu yang datang. Jika lauk pauk itu dimakan, maka anggapan masyarakat indak tahu jo adaik  (tidak beradat), karena merupakan simbol kebesaran dari pihak keluarga yang didatangi oleh bako  dan kerluarga duka. Induak samba ini merupakan hidangan yang dihidangkan dalam ukuran yang besar, sebagai contoh jika makanan tersebut adalah singgang ayam, maka dihidangkan satu ekor ayam tanpa dipotong-potong dan jika merupakan makanan olahan dari daging sapi, ukuran sayatannya juga besar, kira-kira satu kilogram daging yang tidak dipotong. Induak Samba itu dimakan oleh  keluarga duka setelah selesai upacara kematian. Ditemukan banyak yang tersisa dan akhirnya terbuang begitu saja.
[64] Penjelasan lebih rinci lihat halaman 60
[65] Beras picarai adalah beras untuk dimasak sehari-hari
[66] Nongkopi yaitu beberapa makanan kecil yang telah dimasak seperti kue roda, dan agar-agar.
[67] Mariani (55 tahun, tamat SD), biasanya panggilan sehari-hari Uniang, anggota masyarakat Nagari Tandikek, wawancara 4 Januari 2011 di rumah informan. Wawancara dengan informan dilakukan ketika sore hari dengan santainya sambil mengisap rokok daun nipah.
[68] Zuriati (41 tahun), yang melakukan manjanguak masak. Wawancara pada tanggal 5 januari 2011 di rumah duka, bertempat di Korong Paramantalang. Peneliti datang ke rumah informan dua hari sebelum dia melaksanakan acara manjanguak masak.
[69] Mintuo merupakan istri dari saudara laki-laki ibu (mamak).
[70] Mardianto (25) Pemilik toko emas, wawancara tanggal 11 Desember 2010. Secara tidak sengaja peneliti melihat ibu MW berada di toko emas yang pemiliknya merupakan teman peneliti waktu SLTP. Ibu MW itu  sedang mengembalikan emas yang dipinjam. Saat itu peneliti berada di toko emas tersebut sedang menanyakan emas gram, mencoba menggali informasi dari ibu tersebut tapi dia menghindar. Setelah ibu itu pergi selanjutnya peneliti menanyakan kepada pemilik toko tentang peminjaman emas.
[71] Sarinam (53 Tahun) anggota masyarakat biasa, wawancara tanggal 29 November 2010.
[72] Pambawoan merupakan barang bawaan baik dari orang yang Manjanguak Masak ataupun Majanguak Mantah.
[73] Jaruni (59 tahun), orang yang melakukan Manjanguak Masak. Wawancara pada tanggal 8 Januari 2011
[74]Terkait peminjaman emas dalam hal upacara kematian. Menurut penuturan Mardianto sangat sedikit orang meminjam emas untuk hal kematian dibandingkan untuk pesta perkawinan.”nan untuak pai kamatian, yo pacahan ndak ado doh, buliah dikatoan jarang lah”
[75] Datuak Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011
[76] Sarinam (53 tahun, tamat SMP), Wawancara pada tanggal 29 November 2010
[77] Janulis (53 tahun), anggota masyarakat biasa. Wawancara tanggal 29 November 2010.
[78] Sine (58 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara tanggal 2 Desember 2010.
[79] Ungkap Yandri Faisal (26 tahun, penjual sebako harian) anggota masyarakat biasa. Yandri merupakan kakak teman peneliti sendiri yang cukup kenal Wawancara dan pengamatan tanggal 16 Januari 2011. Peneliti berada di pasar untuk membeli bawang. Pada saat itu peneliti mengamati salah seorang ibu paroh baya yang memberikan uang kepada yandri sambil berbisik,tapi barang yang dibelinya tidak tampak oleh peneliti. Setelah langganannya sepi peneliti menanyakan kepada yandri tentang ibu tadi.
[80] Datuak Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011.
[81] Tudung Air, merupakan sejenis tudung yang terbuat dari rotan untuk menutupi, untuk menutupi lauk pauk.
[82] Penjelasan Minah (56 tahun) dan Zuriati (41 tahun),
[83] Penjelasan dari Nawin (67 tahun), Salah seorang ulama di Nagari Tandikek.
[84] Oto Kompong, merupakan sejenis mobil dengan bagian belakangnya terbuka atau tidak beratap. Biasanya menggunakan mobil Mitsubishi L 300.
[85] Koentjaraningrat, 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat. Hal.254
[86] Cimuih (48 tahun). Wawancara dilakukan pada tanggal 31 Januari 2011
[87] Lidar (56 tahun) anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal  11 Februari 2011
[88] Basyirudin Fajal (51 tahun) ulama di Nagari Tandikek, wawancara pada tanggal 13 Februari 2011. Saat itu peneliti dan informan berada di lapau sambil minum kopi.
[89] Minah (56 tahun). Wawancara pada tanggaL 13 Februari 2011.
[90] Tirai Bakolam merupakan tirai yang dipakai dalam rangka kematian . Tirai bakolam bewarna kuning, melambangkan salah satu anggota keluarga ada yang pergi untuk selamanya (orang yang meninggal).
[91] Tirai Bacancang merupakan tirai yang dipakai dalam upacara perkawinan. Tirai Bacancang mempunyai banyak variasi warna, melambangkan kemeriahan.

[92] Syamsuardi (42 tahun, guru SD), Wawancara pada tanggal 13 Februari 2011.
[93] Siroih (45 tahun)adalah orang yang melakukan mengaji kematian. Wawancara pada tanggal 10 Februari 2011.
[94] Zulbainar (62 tahun)anggota masyarakat Korong Galoro. Wawancara pada tanggal 12 Desember 2010. Wawancara dilakukan di lapau (warung) dekat dengan rumah Lambuak yang melakukan hajatan 14 hari kematian orang tuanya yang bernama Angah Sunan.
[95] Radam, Noerid Haloei, 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: yayasan semesta hal 15.
[96] Daniel L Pals.2001. Seven Theoris of Religion. Yogyakarta: Qolam. Hal 413
[97] Clifforg Geertz.1992.Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius hal vii
[98] Bagindo Sutan (60 tahun) salah seorang Labai Kampuang di Nagari Tandikek. Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juli 2010.

[99] Badoncek adalah semacam bentuk penggalangan dana yang dilakukan oleh kaum lelaki yang sukses dirantau orang. Kaum lelaki ini adalah kerabat dekat, teman dekat dari keluarga yang meninggal. Biasanya disini secara tidak langsung terjadi perlombaan status, apabila seseorang uang Badoncek  besar maka status yang dimiliki dalam masyarakat juga tinggi. Selain itu jumlah uang yang diberikan nanti dituliskan dalam sebuah buku yang telah disediakan oleh keluarga yang melakukan upacara kematian.

[100] Ramiyan (43 tahun, tamat SMK ), anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 18 Januari 2011.
[101]  Paris (60 Tahun), anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal  2 Mei 2011 di rumah
informan.
[102] Desrita Yanti (23 tahun), mahasiswa Unand. Wawancara pada tanggal  2 Mei 2011 di rumahnya.
[103]   Hj Rakibah (72 tahun, tamat SMP) wawancara pada tanggal 2 Desember 2010.
[104] Deddy Guswin (26 tahun, tamat SMK), Ketua Pemuda sekaligus penjual pupuk urea. Wawancara pada tanggal 5 Januari 2011 di rumah informan. Informan kala itu sedang mengupas kelapa untuk dijual ke Pekanbaru.
[105] Nurlela (55 tahun, tamat SD). Anggota masyarakat biasa. Wawancara pada tanggal 5 Januari 2011, pada saat itu informan berada di rumah Deddy Guswin untuk membeli pupuk.

[107] Datuak Palembang Basa (58 tahun) adalah Datuak Panghulu Sikumbang di Nagari Tandikek Wawancara pada tanggal 16 Januari 2011


DAFTAR RUJUKAN

Daniels L. Pals. Seven Theoris of Religion.Yogyakarta: Qalam. 2001
Ernatip, dkk. Pasambahan dalam upacara kematian di Kecamatan
Kuranji Kota Padang.  Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang. 2005

Elizabeth K. Notingham, Agama dan Masyarakat. Jakarta:Rajawali Pers. 1942

Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 1992
--------------------. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta.1990

---------------------. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. 1972

---------------------. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1985

LKMM, 2002. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Pedoman
Hidup Banagari. Sako Batuah: Padang

M.E Hutagallung, Lusianna M.E. ”Ngaben”Upacara Kematian Sebagai Salah Satu Atraksi Wisata Budaya di Bali. Kertas Karya: USU Medan. 2009

Mulyana, Deddy.  Komunikasi Antar Budaya. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya. 2005

Novitry. Makna Tradisi Maanta Kasua Dalam Upacara Kematian Pada
Masyarakat Nagari Kapau. skripsi. Padang: FISIP UNAND. 2008

Manurung, Nurhayati, Rotua. Upacara kematian di Tana Toraja: Rambu
Solo. Kertas Karya: USU Medan. 2009

Margaret M. Poloma. Sosiologi Kotemporer. Jakarta: CV Rajawali 1984

Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya. 2001

Spradley, James P. Metode Etnografi. Pengantar Amri Marzali. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya. 1997

Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Komtemporer: Suatu Pengantar
Kritis   Mengenai Paradigma.Kencana: Jakarta. 2006
Suryono, Ariyono, Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Persindo. 1985

Syam, Nur. Madhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta : PT LkiS Pelangi
Aksara. 2007
Radam, Noerid Haloei, Religi Orang Bukit. Jakarta: Dian Rakyat. 2001
Van. Ball, J, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. Jakarta,
Gramedia, 1998
Zaiful, Anwar, Upacara Turun Mandi Anak Secara Tradisional Minangkabau
di Daerah Sumatera Barat di . Padang, Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, 1991











Komentar

Postingan Populer