Artikel Budaya



MENGGALI KEMBALI NILAI-NILAI BUDAYA MADURA MELALUI
NYANYIAN TRADISIONAL: GHAI’ BINTANG
Makalah dipresentai dalam seminar
“Dekulturasi dan Kearifan Lokal Budaya Madura”
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Trunojoyo Madura
Telang, Kamal, 27 Februari 2013

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­______________________________________________________________________________

A. Latief Wiyata
Antroplog Budaya Madura
FISIP Universitas Jember



            Pendahuluan
            Banyak sumber untuk menggali nilai-nilai budaya Madura, di antaranya melalui nyanyian tradisional. Orang-orang Madura, terutama generas mudai, menurut hemat saya  pada saat ini mungkin sekali sudah tidak mau dan mampu menyanyikannya. Mereka lebih  mengenal dan menyukai bahkan hafal nyanyian lagu-lagu pop, termasuk “K-Pop” yang kini sedang melanda dunia mereka. Kondisi demikian memang tidak dapat dihindari atau dielakkan, seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat dan sangat canggih. 

            Keampuhan teknologi informasi menjadikan “dunia remaja” makin sempit dan tidak tergantung lagi pada persoalan ruang dan waktu sehingga selera mereka mudah ditentukan atau dibentuk oleh selera “dunia sana”. Hal inilah yang kemudian mampu memengaruhi makin memudarnya selera mereka  terhadap nyanyian tradisional.  Padahal jika dicermati lebih seksama irama nyanyian tradisonal sangat enak didengar dan penuh dengan suasana keceriaan. Liriknya pun tidak “abal-abal”, melainkan sarat dengan makna-makna filosofis khas budaya Madura. Salah satu nyanyian tradisional yang saya maksudkan itu adalah “Ghai’ Bintang”.
Syair selengkapnya adalah sbb:

Ghâi’ bintang ya lè’ ghâgghâr bulan
Paghâi’na jhanor konèng
Kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu
Pajhâuna è lon-alon
Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer

Terjemahan bebasnya:
Menggapai atau meraih bintang ternyata yang jatuh rembulan
Alat penggapainya janur kuning
Kakak pergi semakin jauh
Jauhnya ke alun-alun
(Liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer)

            Sampai saat menulis makalah ini, saya masih belum mendapatkan informasi akurat tentang siapa pengarang nyanyian itu. Terlepas dari itu, satu hal yang tidak dapat dipungkiri nyanyian ini sangat populer di zaman saya masih ana-anak dahulu, sekitar pertengahan tahun 1950-an. Saya yakin pada zaman sebelum saya pun nyanyian ini juga sangat akrab dalam pergaulan sosial orang Madura. Biasanya nyanyian ini dikumandangkan pada saat bermain-main di halaman rumah (Madura: pamengkang) secara bersama-sama dengan ana-anak tetangga. Suasana keceriaan senantiasa mewarnai pergaulan mereka. Meskipun sangat mungkin mereka tidak memahami makna filosofis yang terkandung di dalamnya, namun nyanyian ini mampu memberikan semangat kebersamaan yang mengasyikkan. Apalagi dinyanyikan ketika sedang bulan purnama.

            Makna-makna simbolik
            Sekilas makna simbolik nyanyian Ghai’ Bintang dapat diinterpretasikan sebagai nyayian kasmaran. Makna yang dikandungnya sangat jelas menggambarkan bagaimana seseorang yang sedang dilanda asmara kehilangan kekasihnya oleh karena sang kekasih sudah pergi jauh meninggalkannya. Padahal sebelumnya pasangan kekasih ini sudah berupaya agar bisa bersanding di pelaminan.  Kejadian ini pasti merupakan suatu kondisi emosional yang sangat menyakitkan bagi yang bersangkutan. Namun, kondisi emosional ini tetap dihadapi dengan tabah dan tidak harus patah semnagat. Bahkan justru dihadapi dengan keceriaan (tanpa merasa sedih yang berlebihan).

            Selain bermakna suasana hati seseorang yang kehilangan kekasihnya, nyanyian Ghai’ Bintang dapat pula dimaknai dalam konteks budaya Madura yang lebih dalam. Apabila dicermati dengan seksama, bait-bait dalam nyanyian Ghai’ Bintang mengandung berbagai pilihan kata yang membentuk suatu kontkes makna simbolis. Pilihan kata-kata itu adalah: ghai’, bintang, bulan, jhanor konèng, elang, sajân jhâu, dan lon-alon (kemudian diakhiri dengan bait liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Berbagai pilihan kata-kata ini sudah barang tentu bukanlah sederetan kata tanpa makna melainkan memiliki makna-makna simbolis yang harus diinterpretasikan sesuai dengan konteks nilai-nilai kultural Madura.
           
            Kata ghai’ (menggapai atau meraih) bermakna suatu tindakan atau upaya dan kerja keras untuk meraih sesuatu yang dicita-citakan atau diinginkan. Dengan menggunakan kosa kata ini, yang harus diraih itu merupakan sesuatu yang sangat tinggi (nilainya), bukan sekadar keinginan atau cita-cita yang ala kadarnya. Inti dari makna simbolik yang terkandung dalam pilhan kata ghai’ adalah konsep bekerja keras dengan semangat tinggi merupakan salah satu kewajiban kultural orang Madura. Lebih tegasnya, bermalas-malasan tidak dikehendaki apa pun alasannya.

            Kata bintang, bermakna atau simbolisasi dari sesuatu benda yang sangat tinggi dan bersifat agung atau luhur. Dalam konteks ini, kata bintang bisa saja bermakna sebagai suatu cita-cita atau keinginan luhur. Tentu saja, tidaklah mungkin suatu cita-cita atau keinginan luhur hanya diniatkan dan diucapkan, melainkan harus disertai dengan upaya dan kerja keras untuk dapat meraihnya menjadi suatu kenyataan. Itu sebabnya dalam nyanyian Ghai’ Bintang  kemudian disebutkan alat untuk meraih bintang itu disebut  jhanor koneng, yaitu daun kelapa yang masih muda yang memiliki tekstur warna indah. Daun kelapa ini biasanya hanya digunakan untuk peristiwa-peristiwa ritual penting dan sakral.
           
            Selanjutnya, meskipun cita-cita luhur tersebut telah diupayakan dengan kerja keras tanpa mengenal lelah, namun harus disadari bahwa tidak tertutup kemungkinan ternyata hasilnya bisa jadi tidak sesuai dengan yang diharapkan (ghâgghâr bulan). Pada bait-bait selanjutnya yaitu: kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è lon-alon dapat semakin mempertegas interpretasi bahwa meskipun cita-cita dan keinginan luhur itu semakin sulit untuk digapai atau diraih, akhirnya menghilang juga. Namun menghilangnya sebuah cita-cita atau keinginan bukanlah lenyap sama sekali melainkan hanya “bergeser” atau “beringsut” ke suatu tempat yang disebut alun-alun.

            Alun-alun adalah suatu tempat yang menyenangkan. Tempat ini merupakan konsentrasi segala kegiatan yang bersifat ritualistik atau mungkin lebih tepat disebut “perayaan” sehingga suasana kemeriahan, keramaian, keceriaan, dan kegembiraan akan bertumpu dan ditemukan di sana. Bahkan tidak jarang alun-alun juga dijadikan tempat untuk kegiatan-kegiatan olahraga yang maknanya akan membuat orang menjadi makin sehat, bukan sebaliknya (sakit). Dengan demikian, meskipun suatu harapan atau cita-cita “bergeser” atau “beringsut” dari yang direncanakan semula, namun tidak akan menyakitkan.       
           
            Dengan demikian segala bentuk “ketidak berhasilan” tidak akan membuat orang Madura patah semangat. Mereka tetap akan menerimanya dengan senang hati sebagimana disimbolisasikan pada bait terakhir dalam lagu itu (liya lites, kembhâng ates, tocca’ toccer). Meskipun bait ini belum saya temukan terjemahannya, namun iramanya sangat jelas menggambarkan suatu suasana kegembiraan dan keceriaan, bukan irama yang meratap-ratap akibat kesedihan.
           
            Masih terkait dengan bait-bait sebelumnya, makna lain dari bait-bait kaka’ èlang ya lè’ sajân jhâu, pajhâuna è lon-alon dapat pula diinterpretasikan dalam konteks semangat merantau. Dengan semangat merantau yang sangat tnggi, yang kemudian menjadi semacam kewajiban kultural orang Madura. Artinya, orang Madura sangat terbiasa dengan aktivitas ini. Itu sebabnya, orang Madura tidak segan-segan untuk merantau ke tempat-tempat yang letaknya jauh, dan bahkan sangat jauh, dari kampung halaman demi meraih cita-cita dan keinginan luhur. Sekadar sebagai suatu pembandingan, hal ini berbeda dengan karakter sosial budaya orang Jawa. Mereka baru akan berani merantau kalau seluruh lingkungan sosal budaya mereka diikut sertakan (konsep bedol deso dalam budaya orang Jawa merupakan suatu solusi dalam keberhasilan pelaksanaan program transmigrasi nasional).

            Selanjutnya, secara empirik semangat merantau ini telah terbukti oleh banyaknya orang Madura tersebar di seluruh pelosok kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke manca negara. Baik mereka sebagai nelayan maupun sebagai pedagang, birokrat, ilmuwan, dan sebagainya. Meskipun mereka harus menuju ke suatu tempat yang sangat jauh, namun tempat-tempat itu hanya dimaknai sebagai “alun-alun”.

            Dengan dilandasi semangat yang tinggi, keuletan serta upaya yang sungguh-sungguh, hampir semua perantau Madura berhasil baik secara sosial, ekonomi maupun politik (sesuai dengan kapasitasnya). Bagi orang Madura, kegagalan merantau secara kultural akan dimaknai sebagai suatu aib yang harus dihindari karena akan mendapat cibiran yang menyakitkan dari lingkungan sosial. Hal ini tercermin dalam ungkapan: arapa’a alako u-jhau mon kabada’anna pada bhai (untuk apa pergi merantau sampai jauh jikalau kondisi kehidupan masih tidak masih tetap  saja tidak menunjukkan keberhasilan).

            Simpulan
            Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam nyanyian Ghai’ Bintang adalah semangat pantang menyerah orang Madura dalam meraih cita-cita atau keinginan luhur. Semangat ini sudah barang tentu diwujudkan melalui keras meskipun dalam kenyataannya kemudian upaya itu akhirnya belum membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Namun ketidak berhasilan itu tidaklah membuat mereka patah semangat atau dimaknai sebagai kegagalan yang fatal. Apalagi bla ketidak berhasilan itu hanya dimaknai sebagai suatu “pergeseran” bentuk pencapaian yang tidak terlalu jauh berbeda secara kualitatif dengan apa yang direncanakan semula. Itu sebabnya, ketidak berhasilan itu tetap disikapi dengan keceriaan.

            Nilai-nilai kultral lain yang dapat dipetik dari nyanyian ini adalah berkaitan dengan konsep merantau. Bagi orang Madura merantau merupakan suatu hal yang sudah lazim dan bahkan sebagai kewajiban kultural. Sejauh berapa pun jarak yang harus ditempuh dan lokasi yang harus didatangi tidak akan menjadi penghalang. Semua itu akan dimaknai sebagai layaknya pergi ke alun-alun, suatu tempat yang menjadi konsentrasi berbagai kegiatan yang menyehatkan sekaligus menghibur. Itu sebabnya, bagi orang Madura pergi merantau bukan merupakan sesuatu yang menakutkan melainkan justru menyenangkan. Implikasi dari semangat itu ditunjukkan oleh keuletan dalam bekerja, daya saing yang sangat kuat, serta motivasi yang tinggi untuk meraih keberhasilan. Lebih kongkritnya, jarang sekali ditemukan atau terdengan kegagalan orang Madura di tanah rantau!


Roko’ èskot talèna mèra, sala lopot nyo’ona sapora
MATOR SAKALANGKONG

Komentar